Jumat, 01 November 2013

Menanti Jawab

Aku tergagap
Tak mampu berucap
Namun hati ini menjerit pilu
Menantimu setiap waktu

Jarak yang sangat dekat
Namun langkah hati seolah tak mampu mendekat
Setiap hari kuberucap
Namun tak satu pun kau menangkap  
Aku yang tak pandai berisyarat
Atau aku yang tak mampu menangkap isyarat?

Sikap yang melumpuhkan diri
Senyum yang penuh arti
Pandangan yang membuyarkan hati
Semua masih menjadi pertanyaan yang tak bisa kumengerti
Kebersamaan yang panjang ini
Menjadi suatu kebetulan yang tak mampu kuresapi

Dan aku masih bertanya-tanya
Tentang pernyataan yang sederhana
Tapi bermakna
Namun,
Masih saja tak mampu kucerna



Kudus, 2 November 2013
FS


Rindu dalam kegelisahan



Desir angin membuatku gelisah

Kosong dan gelap dalam riuhnya hujan yang menghujam bumi
Tak kurasakan kedamaian dalam diri
Hati biru membeku dengan tatapan rindu yang tak berujung waktu

Malam semakin kelam tanpa cahaya
Aku memburu bintang dengan sinar terang yang takkan padam
Yang akan selalu menerangi gelapnya ruang dalam jiwaku
Memusnahkan  dendam dan kebencian atas takdir cinta yang menyakitkan hati



Semarang, 15 Mei 2009 
FS

“CERMIN MASA DEPAN”



Lakon/Pemain

Bu Rina                      : Guru Antropologi
Rendi                          : Siswa yang suka merayu
Joni                             : Siswa yang suka membantah Guru
Johan                         : Siswa yang suka membantah Guru
Ardi                       : Siswa yang pendiam, pintar, selalu menjadi bulan-bulanan temannya
Dewi                           : Siswi yang sombong, kemayu, dan sangat manja pada Guru
Desy                           : Siswi yang selalu jadi pengikut Dewi
Erni                             : Siswi yang pandai di kelas dan selalu menurut pada Guru
Orang tua                   : Pengemis jalanan
Narator                       



Diceritakan dalam sebuah kisah, tentang beberapa anak SMA yang suka seenaknya saja ketika di sekolah. Selalu bikin ribut, mengganggu teman, dan tidak menghormati guru. Namun, suatu ketika mereka berubah karena mendapat pelajaran berharga dari seseorang.
ADEGAN I
Bel istirahat telah berbunyi. Beberapa siswa keluar kelas. Ada yang langsung ke warung, ada juga siswa yang bersantai ria di teras sambil menggoda siswi yang sedang lewat.
Rendi               : (duduk di pojok teras sambil menyanyikan lagu Dewa 19 “Dewi”)
Dewi....Kaulah hidupku, aku cinta padamu sampai mati. Oh..Dewi...belahlah   dadaku, agar kau tahu agar kau mengerti...Hohooo...
(muncul Dewi dari balik pintu kelas)
Dewi                : (marah-marah pada Rendi) Heh, Kau...! Bisa ga sih diam sehari aja ga usah nyanyi lagu itu! Berisik tahu!
Rendi               : Eh, Dewi......hehehe...(tersenyum polos) Kenapa sih, Cin....? Suaraku terlalu merdu, ya? (cengengesan sambil berusaha menggoda Dewi)
Dewi                : Ha? Merdu? Merdu dari Hongkong? (sambil berjalan hendak pergi, tapi tiba-tiba ditahan oleh Rendi)
Rendi               : Eh...eh...Dewi mau kemana? Kita main tebak-tebakan, yuk?
Dewi                : Apaan? (menjawab dengan nada agak kesal)
Rendi               : Dewi tahu ga kalau rajin itu pangkal apa?
Dewi                : Pangkal pandai donk....
Rendi               : Kalau hemat pangkal apa?
Dewi                : Ya pangkal kaya lah.....
Rendi               : Malas pangkal?
Dewi                : Bodoh......Arrghh...( jengkel)
Rendi               : Trus kalau kamu pangkal apa?
Dewi                : Hah???? Aku? Pangkal apaan?? (agak bingung)
Rendi               : Kamu itu......Pangkalan hatiku.....(sambil mengedipkan mata pada Dewi)
Dewi            : eiuuuh......dasar tukang gombal.....huh..(sambil melenggang pergi meninggalkan Rendi)
Rendi               : Yaaahhh.....kok malah pergi?

Senja Dalam Kemuraman Jiwa



Memecah rindu dalam gelimangan air suci yang menetes dari kelopak mata.
Kemuraman hati atas kedukaan yang terkabarkan olehmu,
Membawaku lari dari kerumunan sepi di hatiku.
Do’a serta harapan bersatu untuk cinta suci.

            Saat matahari tenggelam, aku masih terdiam dalam keresahan yang merajai hatiku.keresahan atas kejujuran dan kenyataan. Aku teringat kembali memori hari beberapa saat yang lalu ketika mas Anam mengatakan sesuatu yang mengagetkanku dalam telepon.
            “Sarah, maafkan mas. Maafkan karena aku harus mengatakan rahasia yang selama ini aku simpan darimu. Sebuah kenyataan yang mungkin akan membuatmu sedih,” suaranya yang serak mengejutkanku karena tidak biasanya dia berkata serius seperti itu.
            “Kenapa, Mas? Rahasia apa?”
            “Sarah, jika mas divonis dokter umurku tidak panjang lagi hanya sampai 30an, apakah kamu mau tetap setia menemaniku sampai akhir hayatku? Apa kamu mau menemaniku dan menjagaku di saat terapuh dalam hidupku?”
            “Maksud Mas? Kenapa Mas menanyakan hal itu?” tanyaku dengan terkejut mendengar apa yang dikatakannya.
            Sejenak dia terdiam. Kudengar suaranya yang serak karena sakit menjadi lirih. Yang terdengar hanya isak tangis yang berusaha disembunyikan. Kucoba untuk menanyakan kembali tentang kejelasan dari perkataannya.
            “Sayang, kenapa? Cerita sama Sarah, donk…! Ada apa dengan Mas?”
            “Sarah, sebenarnya Mas punya masalah dengan organ dalam Mas. Sarah tahu, kan tentang penyakit flu Mas yang belum sembuh sampai saat ini? Sebenarnya ini sudah Mas alami sejak masih di bangku SMA. Waktu itu Mas periksakan ke dokter di Ambarawa. Dokter bilang ada sesuatu di paru-paruku sehingga Mas sering mengalami kesulitan pernapasan dan penyakit flu yang menahun. Saat itu dokter bilang Mas harus segera dioperasi. Kata dokter umur Mas tidak akan bisa lama, hanya sampai umur 30an. Saat itu Mas bingung dan kacau. Mas memutuskan tidak akan mangatakan hal ini pada siapapun. Mas ga mau merepotkan orang lain meskipun dengan keluarga sendiri.”

Ketika Cinta Bicara



Malam yang kelam. Angin pun berhembus kencang seakan ingin mematahkan ranting-ranting pepohonan. Di sudut perumahan elit terlihat rumah besar yang terang dengan cahaya lampu di setiap sudut-sudut rumah. Tirai jendela kamar atas terbuka, masih terang dengan sorot lampu yang temaram. Risa  masih  terjaga di depan komputernya. Dia masih sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya. Rupanya dinginnya angin malam yang  masuk ke kamarnya melalui celah-celah jendela tidak membuatn ya merasa  kedinginan. Dia masih terus sibuk menekan tombol-tombol keyboard komputernya.
            “Tok…Tok…Tok…” terdengar ketukan pintu yang membuat Risa kaget.
            “Iya, sebentar,” Risa membuka pintu kamarnya.
            “Ma, ada apa? Mama belum tidur?” tanya Risa pada mamanya.
            “Belum, kamu sendiri belum tidur, Nak?”
            “Masih banyak tugas yang harus Risa selesaikan.”
            “Memangnya  harus selesai malam ini juga?” tanya mamanya.
            “Iya, Ma. Besok dikumpulkan. Mama sendiri kenapa belum juga tidur? Ini sudah malam, Ma.”
            “ Mama belum bisa  tidur.”
            Risa memandangi wajah mamanya yang terlihat geli sah. Dia memegang tangan mamanya dengan lembut.
            “Ma, ada masalah apa? Cerita sama Risa.”
            “Ris, kamu adalah satu-satunya anak Papa Mama. Kamu sekarang sudah  dewasa. Sedangkan kami  sudah tua, sudah pengen menimang cucu. Apa kamu tidak ingin menikah, Nak?”
            “Ma, Risa kan masih kuliah. Sekarang aja masih semester 7. risa  ga mau menikah dulu sebelum lulus kuliah. Risa belum siap membina keluarga sambil kuliah. Lagipula belum ada yang Risa sukai.”

Oase Di Tengah Padang Pasir



Di kegelapan malam aku menikmati keindahan langit yang berhiaskan bintang-bintang. Sungguh penciptaan yang sempurna. Allah Maha Besar dengan segala keindahan yang ada di jagad raya ini. Angin berhembus semakin kencang hingga merasuk ke dalam tulangku. Aku pun segera masuk kamar. Dari kamar aku masih bisa memandang langit. Kosku bentuknya cukup unik. Di tengah-tengah ruangan tak beratap, sehingga aku masih bisa memandang langit dengan jelas. Malam sudah semakin larut, aku segera naik ke tempat tidurku. Malam ini aku harus tidur labih awal karena besok aku harus menempuh perjalanan ke Kudus. Ya, aku akan pulang besok pagi. Menghabiskan liburan semesterku di rumah.
            “Kring….Kring…” aku terperanjat kaget mendengar alarmku berbunyi. Aku segera bangun dan mengambil air wudlu untuk sholat shubuh. Setelah itu aku harus mandi dan siap-siap untuk pulang.
            Matahari telah muncul dari peraduannya, sudah saatnya aku berangkat. Aku pun berpamitan dengan ibu kosku dan teman-temanku yang belum pulang. Satu bulan rencanaku untuk liburan di rumah. Sepanjang perjalanan aku tak banyak bicara dengan teman sebangkoku di bus. Aku hanya diam sampai akhirnya aku turun di pintu gang kampungku.

Mimpi-Mimpi Cinta



Matahari tampak begitu indah menyinari pagi. Langit cerah tak nampak awan yang menghalangi sinar sang surya. Cinta berpamitan pada ibunya berangkat ke sekolah. Dia tampak semangat mengendarai sepedanya. Cinta memang berasal dari keluarga biasa dan sederhana, tetapi dia mempunyai impian yang sangat besar. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ketika sudah lulus sekolah SMA dia ingin melanjutkan kuliah dan kelak ketika dia sudah sukses dia ingin membantu orangtuanya dan menyekolahkan adik-adiknya.
            “Cinta…!” teriak salah seorang temannya yang memanggil di tengah jalan.
            “Eh, kamu, Desi. Ada apa? Mana sepedamu?”
            “Sepedaku di bengkel. Hari ini aku bisa bonceng kamu, ga?”
            “Bisa, kok. Yuk cepetan… Ntar keburu siang malah kita terlambat,” ajak Cinta.
            Mereka pun berangkat bersama ke sekolah boncengan naik sepeda. Mereka memang terbiasa ke sekolah naik sepeda, karena dengan begitu mereka lebih hemat daripada harus naik bus. Meskipun ketika pulang sekolah siang hari mereka harus mengayuh sepeda di tengah teriknya matahari.
            Jam pelajaran sudah dimulai. Cinta dengan serius mengikuti pelajaran di kelas. Beberapa kali dia mengacungkan tangan untuk bertanya kepada gurunya karena dia kurang paham. Hari ini dia sangat semangat belajar. Tidak hanya hari ini, setiap hari dia selalu semangat belajar demi cita-citanya di masa depan.
            “Hai, Cinta…!” sapa temannya yang duduk di belakangnya.
            “Oh, iya… Ada apa, Riska?”
            “Cinta, kamu udah lihat pamflet SPMP di papan pengumuman, belum?” tanya Riska padanya.
            “Pamflet SPMP? Aku belum lihat. Emangnya udah ada, ya?”
            “Iya, udah ada. Aku pikir kamu udah lihat,” jawab Riska.
            “Ya udah ntar aja waktu istirahat aku akan baca pengumumannya.”