Jumat, 01 November 2013

Mimpi-Mimpi Cinta



Matahari tampak begitu indah menyinari pagi. Langit cerah tak nampak awan yang menghalangi sinar sang surya. Cinta berpamitan pada ibunya berangkat ke sekolah. Dia tampak semangat mengendarai sepedanya. Cinta memang berasal dari keluarga biasa dan sederhana, tetapi dia mempunyai impian yang sangat besar. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ketika sudah lulus sekolah SMA dia ingin melanjutkan kuliah dan kelak ketika dia sudah sukses dia ingin membantu orangtuanya dan menyekolahkan adik-adiknya.
            “Cinta…!” teriak salah seorang temannya yang memanggil di tengah jalan.
            “Eh, kamu, Desi. Ada apa? Mana sepedamu?”
            “Sepedaku di bengkel. Hari ini aku bisa bonceng kamu, ga?”
            “Bisa, kok. Yuk cepetan… Ntar keburu siang malah kita terlambat,” ajak Cinta.
            Mereka pun berangkat bersama ke sekolah boncengan naik sepeda. Mereka memang terbiasa ke sekolah naik sepeda, karena dengan begitu mereka lebih hemat daripada harus naik bus. Meskipun ketika pulang sekolah siang hari mereka harus mengayuh sepeda di tengah teriknya matahari.
            Jam pelajaran sudah dimulai. Cinta dengan serius mengikuti pelajaran di kelas. Beberapa kali dia mengacungkan tangan untuk bertanya kepada gurunya karena dia kurang paham. Hari ini dia sangat semangat belajar. Tidak hanya hari ini, setiap hari dia selalu semangat belajar demi cita-citanya di masa depan.
            “Hai, Cinta…!” sapa temannya yang duduk di belakangnya.
            “Oh, iya… Ada apa, Riska?”
            “Cinta, kamu udah lihat pamflet SPMP di papan pengumuman, belum?” tanya Riska padanya.
            “Pamflet SPMP? Aku belum lihat. Emangnya udah ada, ya?”
            “Iya, udah ada. Aku pikir kamu udah lihat,” jawab Riska.
            “Ya udah ntar aja waktu istirahat aku akan baca pengumumannya.”

            Bel istirahat sudah berbunyi. Cinta segera keluar dan menuju ke papan pengumuman. Dia membaca pengumuman dengan cemat. Dia ingin sekali ikut Seleksi Penerimaan Mahasiswa tersebut. Beberapa temannya sudah mantap akan mendaftar SPMP. Tetapi dia belum berani mengambil keputusan sebelum minta izin pada orangtuanya. Terbersit rasa kecewa di hatinya. Karena ayahnya kurang setuju kalau dia melanjutkan kuliah.
            “Cinta…! Kamu ikut SPMP juga, kan? Eman-eman lho kalau ga ikut. Inii kesempatan kita untuk mengikuti seleksi. Apalagi nilai-nilai kamu bagus. Aku yakin kamu bisa lolos seleksi,” kata salah satu teman Cinta.
            “Aku ga tahu, Nik. Aku belum izin sama orangtuaku. Aku juga ingin daftar, tapi…,” Cinta dia sesaat.
            “Tapi kenapa, Cin? Kamu punya potensi untuk bisa melanjutkan kuliah. Aku yakin kamu bisa lolos seleksi. Kamu pintar, kamu bewawasan luas. Apalagi yang kamu ragukan? Orangtuamu pasti setuju.”
            “Kamu tidak tahu keinginan orangtuaku, Nik. Aku tidak yakin mereka akan mengizinkanku kuliah. Aku pernah mendengar ayahku ingin agar aku setelah lulus SMA nanti aku bekerja saja.”
            “Nanti setelah sampai rumah cobalah kamu membujuk ayahmu. Semoga saja Beliau berubah pikiran dan mengizinkan kamu kuliah.”
            “Amin… Baiklah akan aku coba membujuk ayahku. Terima kasih, Nik.”
            Di tengah teriknya panas matahari Cinta pulang dengan penuh harap  mendapatkan restu ayah dan ibunya untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Dia mengayuh sepeda dengan terus berdo’a. Airmatanya mengalir mengiringi setiap do’a dan harapan yang dia panjatkan kepada Robbnya. Seiring dengan berputarnya roda sepedanya dan akhirnya dia sampai berada di depan rumahnya.
            “Assalaamu’alaikum…”
            “Wa’alaikumsalam… Kamu sudah pulang, Cinta?” tanya ibu Cinta.
            “Iya, Bu… Adik-adik mana? Kok sepi?”
            “Mereka sedang keluar. Andi katanya mau ngerjain tugas di rumah temannya. Sedangkan Rio lagi main di halaman sama teman-temannya. Kamu makan dulu sana!”
“Nanti aja, Bu…”
            Cinta bingung ingin memulai pembicaraan dengan ibunya dari mana. Cinta takut ibunya akan kaget dan bingung memikirkan keinginannya yang sebenarnya sudah jelas tidak akan mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya. Cinta merasa resah dan dia diam menatap keluar rumah. Dia tak tahu bahwa ibunya sedang memperhatikannya.
            ”Cinta, apa yang kamu pikirkan? Jangan melamun,Nak!”
            Cinta kaget mendengar ibunya berbicara. Cinta semakin bingung dengan keadaan seperti itu. Cinta ingin langsung bicara tapi tidak berani.
            ”Ee... Ga melamun kok, Bu.”
            ”Lha, tadi ngapain kalau bukan melamun namanya? Bengong melihat ke arah luar rumah. Cinta, kalau ada masalah ngomong saja sama Ibu. Ibu akan dengarkan, kok. Kamu ada masalah di sekolah? Kamu bertengkar dengan temanmu? Atau kamu tadi dimarahi gurumu? Ngomong saja sama Ibu.”
            ”Ga kok, Bu. Cinta ga ada masalah dengan teman-teman atau sama guru. Cinta Cuma...”
            Cinta diam sesaat tidak bisa meneruskan bicaranya.
            ”Cuma apa, Nak?” tanya ibunya.
            ”Bu, Cinta mau bilang sesuatu sama Ibu.”
            ”Mau bilang apa, Cinta? Bilang saja tidak usah takut.”
            “Ehm..., Cinta mau daftar SPMP boleh, tidak?” tanya Cinta dengan agak ragu.
            “SPMP itu apa, Nak? Ibu ga mudeng.”
            “SPMP itu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru berdasarkan prestasinya di sekolah. Cinta ingin kuliah, Bu. Cinta ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Cinta ingin mewujudkan cita-cita Cinta untuk menjadi guru,” jelas Cinta pada ibunya.
            “Cinta, Ibu ngerti keinginanmu. Tapi kamu tahu sendiri bapak tidak setuju kamu kuliah. Bapak ingin kamu langsung bekerja setelah lulus sekolah nanti.”
            Cinta menangis dan langsung masuk kamar meninggalkan ibunya. Di kamar dia terus menangis. Dia merasa impian-impiannya kabur. Harapannya untuk kuliah takkan terkabulkan. Sepanjang sore itu dia mengurung diri di kamar. Dia hanya keluar untuk wudlu kemudian masuk kamar lagi. Ibunya agak khawatir dengan Cinta. Sejak pulang sekolah tadi dia belum makan sedikitpun. Ibunya ingin membahagiakan Cinta dan mengizinkannya kuliah. Tapi ayah Cinta tak mengizinkannya. Ibunya tak bisa berbuat apa-apa karena ibunya tidak bisa membiayai kuliahnya. Di rumah hanya ayah Cinta yang bekerja. Ayhnya bekerja sebagai tukang batu. Sedangkan ibunya hanya bekerja sambilan menerima jahitan kecil-kecilan sebagai tambahan uang belanja.
            “Cinta, kamu makan dulu, Nak! Nanti kamu sakit, lho… Keluarlah kamu dari kamar! Sebentar lagi ayahmu pulang, kamu bisa membicarakannya sama ayahmu. Keluarlah, Nak…!” pinta ibunya sambil mengetuk pintu kamar Cinta.
            Beberapa jam kemudian kemudian ayah Cinta pulang. Kemudian ibunya menceritakan keadaan Cinta.
            “Cinta, ini ayah, Nak… Kamu keluarlah dari kamar. Kita bicarakan di luar. Cinta…! Ayah mohon keluarlah…! Apa kamu mau semua tetangga mendengar ayah teriak-teriak? Apa kamu tidak malu di dengar tetangga? Ini sudah malam, Nak…,” teriak ayahnya di depan pintu kamar.
            Beberapa saat kemudian Cinta keluar. Matanya merah dan masih basah. Terlihat dia habis menangis. Cinta pun segera duduk di samping ayahnya.
            “Cinta, kamu tahu keadaan keluarga kita, kan? Ayah sebenarnya tidak melarang kamu untuk kuliah. Hanya saja apakah kamu tidak menyadari keadaan keluarga kita seperti apa? Ayah sudah tua. Ayah sudah tidak mampu lagi menyekolahkanmu. Apalagi kuliah butuh biaya yang tidak sedikit. Jika ayah nekat menyekolahkanmu apa yang akan ayah berikan pada ibu dan adik-adikmu? Adik-adikmu masih butuh biaya sekolah yang juga tidak sedikit.”
            Cinta diam terpaku mendengarkan penjelasan ayahnya. Dia tak bisa menahan tangisnya kembali.
            “Cinta, maafkan Ayah, Nak…,” kata ayahnya yang juga tak mampu menahan tangisnya.
            “Ayah… Maafkan Cinta yang tidak tahu berterima kasih ini, Yah… Cinta terlalu egois. Maafkan Cinta yang telah banyak menyusahkan Ayah dan Ibu. Cinta sadar dengan keadaan kita. Baiklah, Cinta ga akan meminta kuliah lagi. Cinta akan menuruti keinginan ayah. Cinta akan membantu ayah menyekolahkan adik-adik. Sekali lagi  maafkan Cinta. Cinta khilaf, Ayah…,” Cinta berkata sambil sesegukan menangis di pangkuan ayahnya.
            “Tapi, Nak… Kalau kamu mau setelah lulus nanti kamu bisa kursus saja. Terserah kamu mau kursus apa. InsyaAllah ayah masih mampu jika hanya membiayai kamu kursus. Saran ayah kursuslah kamu di bidang yang benar-benar kamu kuasai dan bisa kamu kembangkan dalam kehidupanmu. Kamu bisa kursus menjahit atau kursus komputer. Setelah selesai kursus kamu bisa buka usaha sesuai bidang itu. Bagaimana menurutmu, Nak?” tanya ayahnya dengan semangat.
            “InsyaAllah… Cinta akan memilih kursus komputer saja. Cinta akan segera mencari info tentang kursus computer yang murah. Terima kasih atas kebijakan Ayah. Cinta sayang sama Ayah dan Ibu. Cinta ga mau mengecewakan Ayah dan Ibu.” jawab Cinta dengan  penuh haru.
            “Kami juga sayang sama kamu, Cinta,” jawab ayahnya.
            Malam telah larut, Cinta kembali ke kamarnya dan tidur. Menjelang sepertiga malam dia bangun untuk sholat lail. Terdengar do’anya yang lirih,
”Ya, Allah.... Sembah sujud syukurku pada-Mu yang telah melahirkanku dari rahim seorang ibu yang welas asih dan penyabar serta Kau jadikan aku anak dari seorang ayah yang bijak. Kau beri aku kenikmatan dengan manumbuhkan aku di tengah-tengah keluarga yang menyayangiku. Terima kasih aku sembahkan hanya kepada-Mu.”
Suaranya serak dan matanya basah dengan airmata. Dia berdo’a pada Sang Kholiq untuk dia sendiri dan orangtuanya. Dia juga memanjatkan rasa syukurnya pada Sang Kholiq karena nikmat yang diberikan-Nya padanya. Dia bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang sangat menyayanginya.
@@@

            Pagi menjelang, matahari tampak bersinar cerah menyinari alam. Hati Cinta pun sama seperti pagi yang cerah ini. Tak ada gundah di hatinya atas apa yang dirasakannya kemarin. Mimpi-mimpi Cinta tetap bersamanya. Meskipun ada satu mimpi yang hilang tetapi masih ada banyak mimpi yang dapat dia wujudkan demi kebahagiaan orangtuanya yang sangat dia sayangi.

@@@@@
Untuk sahabatku, 
semoga harapan-harapanmu dikabulkan sang Kholiq
 
Semarang, 02 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar