Matahari tampak begitu indah menyinari pagi. Langit cerah
tak nampak awan yang menghalangi sinar sang surya. Cinta berpamitan pada ibunya
berangkat ke sekolah. Dia tampak semangat mengendarai sepedanya. Cinta memang
berasal dari keluarga biasa dan sederhana, tetapi dia mempunyai impian yang
sangat besar. Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ketika sudah lulus
sekolah SMA dia ingin melanjutkan kuliah dan kelak ketika dia sudah sukses dia
ingin membantu orangtuanya dan menyekolahkan adik-adiknya.
“Cinta…!”
teriak salah seorang temannya yang memanggil di tengah jalan.
“Eh,
kamu, Desi. Ada apa? Mana sepedamu?”
“Sepedaku
di bengkel. Hari ini aku bisa bonceng kamu, ga?”
“Bisa,
kok. Yuk cepetan… Ntar keburu siang malah kita terlambat,” ajak Cinta.
Mereka
pun berangkat bersama ke sekolah boncengan naik sepeda. Mereka memang terbiasa
ke sekolah naik sepeda, karena dengan begitu mereka lebih hemat daripada harus
naik bus. Meskipun ketika pulang sekolah siang hari mereka harus mengayuh
sepeda di tengah teriknya matahari.
Jam
pelajaran sudah dimulai. Cinta dengan serius mengikuti pelajaran di kelas.
Beberapa kali dia mengacungkan tangan untuk bertanya kepada gurunya karena dia
kurang paham. Hari ini dia sangat semangat belajar. Tidak hanya hari ini,
setiap hari dia selalu semangat belajar demi cita-citanya di masa depan.
“Hai,
Cinta…!” sapa temannya yang duduk di belakangnya.
“Oh,
iya… Ada apa, Riska?”
“Cinta,
kamu udah lihat pamflet SPMP di papan pengumuman, belum?” tanya Riska padanya.
“Pamflet
SPMP? Aku belum lihat. Emangnya udah ada, ya?”
“Iya,
udah ada. Aku pikir kamu udah lihat,” jawab Riska.
“Ya udah
ntar aja waktu istirahat aku akan baca pengumumannya.”
Bel
istirahat sudah berbunyi. Cinta segera keluar dan menuju ke papan pengumuman.
Dia membaca pengumuman dengan cemat. Dia ingin sekali ikut Seleksi Penerimaan
Mahasiswa tersebut. Beberapa temannya sudah mantap akan mendaftar SPMP. Tetapi
dia belum berani mengambil keputusan sebelum minta izin pada orangtuanya.
Terbersit rasa kecewa di hatinya. Karena ayahnya kurang setuju kalau dia
melanjutkan kuliah.
“Cinta…!
Kamu ikut SPMP juga, kan? Eman-eman lho kalau ga ikut. Inii kesempatan kita
untuk mengikuti seleksi. Apalagi nilai-nilai kamu bagus. Aku yakin kamu bisa
lolos seleksi,” kata salah satu teman Cinta.
“Aku ga
tahu, Nik. Aku belum izin sama orangtuaku. Aku juga ingin daftar, tapi…,” Cinta
dia sesaat.
“Tapi
kenapa, Cin? Kamu punya potensi untuk bisa melanjutkan kuliah. Aku yakin kamu
bisa lolos seleksi. Kamu pintar, kamu bewawasan luas. Apalagi yang kamu
ragukan? Orangtuamu pasti setuju.”
“Kamu
tidak tahu keinginan orangtuaku, Nik. Aku tidak yakin mereka akan mengizinkanku
kuliah. Aku pernah mendengar ayahku ingin agar aku setelah lulus SMA nanti aku
bekerja saja.”
“Nanti
setelah sampai rumah cobalah kamu membujuk ayahmu. Semoga saja Beliau berubah
pikiran dan mengizinkan kamu kuliah.”
“Amin…
Baiklah akan aku coba membujuk ayahku. Terima kasih, Nik.”
Di
tengah teriknya panas matahari Cinta pulang dengan penuh harap mendapatkan restu ayah dan ibunya untuk
melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Dia mengayuh sepeda dengan terus
berdo’a. Airmatanya mengalir mengiringi setiap do’a dan harapan yang dia
panjatkan kepada Robbnya. Seiring dengan berputarnya roda sepedanya dan
akhirnya dia sampai berada di depan rumahnya.
“Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…
Kamu sudah pulang, Cinta?” tanya ibu Cinta.
“Iya,
Bu… Adik-adik mana? Kok sepi?”
“Mereka
sedang keluar. Andi katanya mau ngerjain tugas di rumah temannya. Sedangkan Rio
lagi main di halaman sama teman-temannya. Kamu makan dulu sana!”
“Nanti aja, Bu…”
Cinta
bingung ingin memulai pembicaraan dengan ibunya dari mana. Cinta takut ibunya
akan kaget dan bingung memikirkan keinginannya yang sebenarnya sudah jelas
tidak akan mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya. Cinta merasa resah dan
dia diam menatap keluar rumah. Dia tak tahu bahwa ibunya sedang
memperhatikannya.
”Cinta,
apa yang kamu pikirkan? Jangan melamun,Nak!”
Cinta
kaget mendengar ibunya berbicara. Cinta semakin bingung dengan keadaan seperti
itu. Cinta ingin langsung bicara tapi tidak berani.
”Ee...
Ga melamun kok, Bu.”
”Lha,
tadi ngapain kalau bukan melamun namanya? Bengong melihat ke arah luar rumah.
Cinta, kalau ada masalah ngomong saja sama Ibu. Ibu akan dengarkan, kok. Kamu
ada masalah di sekolah? Kamu bertengkar dengan temanmu? Atau kamu tadi dimarahi
gurumu? Ngomong saja sama Ibu.”
”Ga kok,
Bu. Cinta ga ada masalah dengan teman-teman atau sama guru. Cinta Cuma...”
Cinta
diam sesaat tidak bisa meneruskan bicaranya.
”Cuma
apa, Nak?” tanya ibunya.
”Bu,
Cinta mau bilang sesuatu sama Ibu.”
”Mau
bilang apa, Cinta? Bilang saja tidak usah takut.”
“Ehm...,
Cinta mau daftar SPMP boleh, tidak?” tanya Cinta dengan agak ragu.
“SPMP
itu apa, Nak? Ibu ga mudeng.”
“SPMP
itu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru berdasarkan prestasinya di sekolah. Cinta
ingin kuliah, Bu. Cinta ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Cinta ingin mewujudkan cita-cita Cinta untuk menjadi guru,” jelas Cinta
pada ibunya.
“Cinta,
Ibu ngerti keinginanmu. Tapi kamu tahu sendiri bapak tidak setuju kamu kuliah.
Bapak ingin kamu langsung bekerja setelah lulus sekolah nanti.”
Cinta
menangis dan langsung masuk kamar meninggalkan ibunya. Di kamar dia terus
menangis. Dia merasa impian-impiannya kabur. Harapannya untuk kuliah takkan
terkabulkan. Sepanjang sore itu dia mengurung diri di kamar. Dia hanya keluar
untuk wudlu kemudian masuk kamar lagi. Ibunya agak khawatir dengan Cinta. Sejak
pulang sekolah tadi dia belum makan sedikitpun. Ibunya ingin membahagiakan
Cinta dan mengizinkannya kuliah. Tapi ayah Cinta tak mengizinkannya. Ibunya tak
bisa berbuat apa-apa karena ibunya tidak bisa membiayai kuliahnya. Di rumah
hanya ayah Cinta yang bekerja. Ayhnya bekerja sebagai tukang batu. Sedangkan
ibunya hanya bekerja sambilan menerima jahitan kecil-kecilan sebagai tambahan
uang belanja.
“Cinta,
kamu makan dulu, Nak! Nanti kamu sakit, lho… Keluarlah kamu dari kamar!
Sebentar lagi ayahmu pulang, kamu bisa membicarakannya sama ayahmu. Keluarlah,
Nak…!” pinta ibunya sambil mengetuk pintu kamar Cinta.
Beberapa
jam kemudian kemudian ayah Cinta pulang. Kemudian ibunya menceritakan keadaan
Cinta.
“Cinta,
ini ayah, Nak… Kamu keluarlah dari kamar. Kita bicarakan di luar. Cinta…! Ayah
mohon keluarlah…! Apa kamu mau semua tetangga mendengar ayah teriak-teriak? Apa
kamu tidak malu di dengar tetangga? Ini sudah malam, Nak…,” teriak ayahnya di
depan pintu kamar.
Beberapa
saat kemudian Cinta keluar. Matanya merah dan masih basah. Terlihat dia habis
menangis. Cinta pun segera duduk di samping ayahnya.
“Cinta,
kamu tahu keadaan keluarga kita, kan? Ayah sebenarnya tidak melarang kamu untuk
kuliah. Hanya saja apakah kamu tidak menyadari keadaan keluarga kita seperti
apa? Ayah sudah tua. Ayah sudah tidak mampu lagi menyekolahkanmu. Apalagi
kuliah butuh biaya yang tidak sedikit. Jika ayah nekat menyekolahkanmu apa yang
akan ayah berikan pada ibu dan adik-adikmu? Adik-adikmu masih butuh biaya
sekolah yang juga tidak sedikit.”
Cinta
diam terpaku mendengarkan penjelasan ayahnya. Dia tak bisa menahan tangisnya
kembali.
“Cinta,
maafkan Ayah, Nak…,” kata ayahnya yang juga tak mampu menahan tangisnya.
“Ayah…
Maafkan Cinta yang tidak tahu berterima kasih ini, Yah… Cinta terlalu egois.
Maafkan Cinta yang telah banyak menyusahkan Ayah dan Ibu. Cinta sadar dengan
keadaan kita. Baiklah, Cinta ga akan meminta kuliah lagi. Cinta akan menuruti
keinginan ayah. Cinta akan membantu ayah menyekolahkan adik-adik. Sekali
lagi maafkan Cinta. Cinta khilaf,
Ayah…,” Cinta berkata sambil sesegukan menangis di pangkuan ayahnya.
“Tapi,
Nak… Kalau kamu mau setelah lulus nanti kamu bisa kursus saja. Terserah kamu
mau kursus apa. InsyaAllah ayah masih mampu jika hanya membiayai kamu kursus.
Saran ayah kursuslah kamu di bidang yang benar-benar kamu kuasai dan bisa kamu
kembangkan dalam kehidupanmu. Kamu bisa kursus menjahit atau kursus komputer.
Setelah selesai kursus kamu bisa buka usaha sesuai bidang itu. Bagaimana
menurutmu, Nak?” tanya ayahnya dengan semangat.
“InsyaAllah…
Cinta akan memilih kursus komputer saja. Cinta akan segera mencari info tentang
kursus computer yang murah. Terima kasih atas kebijakan Ayah. Cinta sayang sama
Ayah dan Ibu. Cinta ga mau mengecewakan Ayah dan Ibu.” jawab Cinta dengan penuh haru.
“Kami
juga sayang sama kamu, Cinta,” jawab ayahnya.
Malam
telah larut, Cinta kembali ke kamarnya dan tidur. Menjelang sepertiga malam dia
bangun untuk sholat lail. Terdengar do’anya yang lirih,
”Ya, Allah.... Sembah sujud syukurku pada-Mu yang telah
melahirkanku dari rahim seorang ibu yang welas asih dan penyabar serta Kau
jadikan aku anak dari seorang ayah yang bijak. Kau beri aku kenikmatan dengan
manumbuhkan aku di tengah-tengah keluarga yang menyayangiku. Terima kasih aku
sembahkan hanya kepada-Mu.”
Suaranya serak dan matanya basah dengan airmata. Dia
berdo’a pada Sang Kholiq untuk dia sendiri dan orangtuanya. Dia juga
memanjatkan rasa syukurnya pada Sang Kholiq karena nikmat yang diberikan-Nya
padanya. Dia bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang sangat menyayanginya.
@@@
Pagi
menjelang, matahari tampak bersinar cerah menyinari alam. Hati Cinta pun sama
seperti pagi yang cerah ini. Tak ada gundah di hatinya atas apa yang
dirasakannya kemarin. Mimpi-mimpi Cinta tetap bersamanya. Meskipun ada satu
mimpi yang hilang tetapi masih ada banyak mimpi yang dapat dia wujudkan demi
kebahagiaan orangtuanya yang sangat dia sayangi.
@@@@@
Untuk
sahabatku,
semoga harapan-harapanmu dikabulkan sang Kholiq
Semarang, 02 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar