Senin, 30 Maret 2009

tentang golput

Golput Sebagai wujud Partisipasi Rakyat dalam Berdemokrasi

Oleh Najwa Al Quds


Selangkah lagi bangsa Indonesia akan merayakan pesta demokrasi yakni pemilu 2009. Tanggal 9 April nanti kita akan memilih anggota dewan legislatif yang akan menduduki kursi pemerintahan untuk mewakili rakyat. Namun, kenyataannya antusias warga dalam mengikuti pemilu 2009 ini menurun. Pemilu 2009 nanti sudah pasti akan diwarnai kekhawatiran terhadap peningkatan jumlah golongan putih (golput) alias orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah golput pada pemilu 2009 ini diprediksi akan meningkat dibanding pemilu 2004 kemarin. Hal ini didasari oleh cukup tingginya angka golput pada Pilkada yang telah dilaksanakan di sejumlah daerah.

Jika kita perhatikan saat ini, meluasnya angka golput memang sangat mencemaskan. Secara teoretik, kenaikan golput dipicu oleh turunnya loyalitas warga terhadap para pemimpin bangsa. Kegagalan kepemimpinan yang muncul di sana-sini, banyak pejabat yang jadi tersangka, pengingkaran janji-janji politik yang pernah diucapkan pemimpin menjadi penyebab utama munculnya golput. Selain itu, turunnya loyalitas warga terhadap partai-partai politik juga berpengaruh besar. Terutama partai-partai politik yang anggota legislatifnya terlibat skandal korupsi ataupun skandal seks. Efikasi politik yang rendah terhadap proses politik termasuk di dalamnya masalah pemilu telah membuat warga merasa pilihan mereka tidak akan mengubah keadaan.

Golput merupakan reaksi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak dapat dipercaya, kurang demokratis, dan kurang memperjuangkan kesejahteraan umum. Pemilu telah dianggap gagal melahirkan proses rekrutmen politik yang bersih dan baik. Golput sebenarnya merupakan mekanisme kontrol yang dilahirkan rezim demokrasi untuk mengoreksi kebijakan dan tindakan yang tidak berpihak pada rakyat. Jika dikelola dengan tepat, golput bukanlah suatu cedera demokrasi, justru upaya rakyat dalam memperbaiki sistem politik agar lebih demokratis, terbuka kesempatan memperjuangkan keadilan sosial, serta membuka peluang seluas-luasnya bagi partisipasi rakyat.

Fenomena golput yang semakin gencar ini menjadikan kekhawatiran juga di kalangan pemuka agama. Bahkan MUI sampai mengeluarkan fatwa haram bagi siapa saja yang golput pada pemilu 2009 nanti. Fatwa tersebut menjadi kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang membenarkan dan mendukung adanya fatwa tersebut, tapi ada juga yang menentang keras fatwa haram tersebut. Bagi mereka yang mendukung fatwa haram MUI tentang golput, mereka beranggapan bahwa golput justru akan menjadikan bangsa ini lebih terpuruk. Pemilu adalah jalan bagi rakyat untuk kembali memperbaiki nasib bangsa dengan memilih wakil-wakil rakyat yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain mereka akan berkata bahwa nasib bangsa Indonesia ini ada di tangan rakyatnya. Jika rakyatnya golput berarti mereka tidak menginginkan perubahan yang lebih baik bagi bangsanya.

Di lain pihak banyak yang menentang fatwa haram MUI tentang golput. Mereka menganggap MUI tidak punya hak untuk mengharamkan golput, karena pada dasarnya golput adalah suatu bentuk wujud demokrasi yang ditunjukkan oleh warga. Ada pula yang beranggapan bahwa fatwa tersebut bukanlah untuk kepentingan umat, melainkan untuk keperluan internal dalam parpol. Jika kita lihat kembali sebenarnya pemilu takkan bisa terhindar dari golput, entah itu golput teknis maupun golput ideologis. Golput teknis sudah menjadi hal yang biasa dalam pelaksanaan pemilu. Yang menjadi kekhawatiran di sini adalah golput ideologis. Mereka dengan sengaja tidak menggunakan hak suaranya, tetapi bukan tanpa alasan. Salah satu penyebabnya sudah disebutkan di atas yaitu tingkat kepercayaan atau loyalitas masyarakat terhadap para pemimpin bangsa menurun.

Golput sebenarnya merupakan suatu pilihan juga yang harus dihormati karena ini merupakan sikap dan hak seseorang, dan tidak ada satu undang-undang pun yang melarang golput. Golput sebagai suatu bentuk sikap yang menyatakan kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan bangsa. Namun, sebagai warga Negara yang bertanggung jawab penulis menganggap akan lebih baik jika kita tetap menggunakan hak pilih kita dengan rasional untuk kemajuan bangsa kita. Meskipun demikian, penulis tetap menghargai sikap golput karena penulis juga mengerti bahwa sikap tersebut sebagai wujud berdemokrasi oleh sebagian warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar