Resah
Rusuh
Pemain
:
Ahmad Retno
Bupati Bu Suti
Mbok Iyem Parmin
Pak Parno Pedagang
mie ayam keliling
Babak I
Panggung
diatur persis seperti di ruang dalam pendopo Kabupaten yang di dalamnya terdapat kursi malas dan
meja marmer bundar. Di atasnya terdapat lampu terang yang menjadi penerang.
Karena ruang dalam ini sangat gelap dari pencahayaan luar. Tembok pemisah ruang
dalam dengan ruang tamu dipajang ukiran-ukiran indah yang terbuat dari kayu.
Ukiran-ukiran itu memperindah tembok ruang dalam tersebut.
Adegan 1
Pagi
hari ketika banyak orang mulai beraktivitas di pendopo, mbk Iyem seang
membersihkan ruang dalam sambil menembangkan tembang kinanthi yang sangat
disukainya. Dia menyapu lantai dan membersihkan kursi malas kesukaan
majikannya. Ketika sedang asik-asiknya mendendangkan tembang kinanthi, datang
pak Parno tukang kebun di pendopo.
Pak
Parno : (dengan langkah yang pelan
langsung masuk ruang dalam dan mengagetkan mbok Iyem)
Sedang apa, Mbok?
Mbok Iyem : (terkejut dan spontan menjatuhkan sapu
yang sedang dia pegang)
Waduh, Parno… Kamu ini
ngagetin saja.
Pak
Parno : Maaf, Mbok. Saya tidak
sengaja ngegetin mbok Iyem. Saya Cuma tanya mbok sedang apa.
Mbok Iyem : Lha, kamu lihat mbok
ini sedang apa? Mbok sedang nyapu lantai, tho?
Pak Parno : Iya, Mbok… Saya sedang bingung, Mbok.
Mbok Iyem : Bingung kenapa?
Pak Parno : (terdiam sejenak seperti sedang
berpikir)
Saya bingung mikirin
adik saya yang punya kios counter di pinggir jalan itu, Mbok.
Mbok
Iyem : Lho, kenapa bingung? Adikmu tidak
apa-apa, tho? Dia sehat-sehat saja, tho?
Pak
Parno : Iya, Mbok. Adik saya sehat.
Tapi sekarang dia lagi bingung karena kios-kios yang ada di sepanjang pinggir
jalan katanya akan digusur.
Mbok
Iyem : (setengah kaget dan tidak sadar langsung
membanting sapu yang dia pegang)
Apa?! Digusur? Kok bisa?
Terus nanti anak saya retno mau jualan dimana? Anak saya juga berjualan bunga
di sana. Lha, terus bagaimana nasib anak saya? (seperti orang bingung dan
hampir menangis)
Pak Parno : (semakin tambah
bingung karena melihat mbok Iyem yang hendak menangis)
Lho, Mbok. Jangan menangis! Nanti saya malah tambah
pusing gimana, Mbok? Nanti kalau ndoro majikan datang gimana? Atau mas ahmad
ajudan ndoro majikan tiba-tiba masuk gimana?
Mbok Iyem :
(tangisnya semakin mengeras dan airmatanya keluar)
Mbok takut Retno tidak bisa jualan lagi, Parno... Bagaimana
nasib keluarga mbok nanti?
Pak Parno : Ya, sudahlah, Mbok… Kita sabar saja. Kita
pasrah pada Allah. Kita berdo’a semoga penggususran itu tidak jadi. Semoga
ndoro majikan tidak semena-mena terhadap wong cilik seperti kita, ya,
Mbok.
Adegan 2
Datang seorang pemuda gagah bernama Ahmad. Dia adalah
ajudan bupati yang selalu mengawal Beliau kemana pun Beliau pergi. Dia berjalan
tegap menghampiri mbok Iyem dan pak Parno.
Ahmad : (dengan sopan dia masuk ruang tengah
dan mengetuk pintu dalam)
Assalaamu’alaikum…
Pak Parno : Waalaikumsalam…
Ahamad : Lho, Mbok. Kenapa nangis? Terus pak Parno
juga kenapa kelihatan sedih? Ada masalah?
Pak Parno : Kami
sedang bingung, Mas. Bingung mikirinnasib saudara dan keluarga kami yang
berjualan di pinggir jalan. Bukankah katanya kios-kios di pinggir jalan akan
digusur?
Ahmad :
Dari mana Pak Parno tahu tentang hal itu?
Pak Parno : Saya tahu dari adik saya yang punya kios
counter di sana, Mas. Berita itu benar, ya, Mas?
Ahmad : Iya, Pak. Berita itu benar. Kanjeng
Bupati ingin menertibkan kios-kios di pinggir jalan yang dirasakan mengganggu
ketertiban jalan.
Pak Parno :
(menunduk dan bertambah sedih)
Bagaimana nasib adikku nanti, Mas?
Mbok Iyem :
Benar, Den. Bagaimana juga nasib Retno anakku?
Ahmad : Mbok juga punya anak yang jualan di sana?
Mbok Iyem : Iya, Den. Anak saya jualan bunga. Den,
kalau bisa bantulah kami ini. Kalau ios-kios mereka digusur di mana lagi mereka
akan berjualan?
Ahmad : Maafkan saya, Mbok. Saya ini hanya
seorang ajudan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Pak
Parno : Tapi Mas Ahmad adalah ajudan
Kanjeng Bupati yang sangat Beliau percayai. Tiap perkataan Mas didengarkan oleh
beliau. Kami mohon cobalah bicara pada kanjeng Bupati, Mas.
Ahmad : Baiklah akan saya coba. (duduk di
samping Mbok Iyem mencoba menenangkan)
Adegan 3
Ketika
tiga orang yang ada di ruang dalam diam, masuklah Bupati ke ruang dalam .
wajahnya tampak tenang dan santai. Sesekali dia tersenyum sendiri. Beliau masuk
dan langsung menduduki kursi malas tanpa memperhatikan tiga orang yang ada di
dalam.
Ahamd : Maaf,
Pak. Kenapa Bapak tersenyum sendiri? (memandang heran kepada majikannya yang
sedang tersenyum sendiri)
Bupati : Eh, kamu, Mad. Tidak ada apa-apa. Saya hanya
merasa senang saja dengan keadaan hari ini yang tenang tak ada gaduh dari
masyarakat yang protes tentang penggusuran kios-kios di pinggir jalan itu.
Ahmad : Pak, apa tidak sebaiknya rencana
Bapak untuk menertibkan kios-kios itu dibatalkan saja?
Bupati : (kaget dan berdiri menggebrak meja)
Apa?! Apa maksudmu bicara seperti itu? Kamu ini Jangan
bicara macam-macam sama saya! Kamu ini hanya seorang ajudan yang tidak punya
hak apa-apa untuk bicara.
Mbok Iyem : (mendengar gebrakan meja yang
dilakukan majikannya dia menjadi kaget
dan takut)
Pak parno : (berbisik pada mbok Iyem)
Mbok, saya takut. Lebih baik kita pergi saja, yuk?
Mbok Iyem : Iya, saya juga takut. Kita pergi saja ke
dapur sekarang!
Ahmad :
(melihat ke arah mbok Iyem dan pak Parno yang mau meninggalkan ruangan)
Mbok, Jangan pergi
kemana-mana. Di sini saja sama Pak parno juga. Kita bicarakan maksud kita pada Bapak.
Mbok Iyem : Baik, Den.
Bupati :
Ahmad! Jelaskan maksud kamu tadi! Kenapa mereka juga harus di sini?
Ahmad : Pak, mereka ini sedang bingung dan sedih
karena kios keluarga mereka juga ikut tergusur. Padahal itu satu-satunya mata
pencaharian mereka untuk menghidupi keluarga.
Bupati : Benar begitu, Mbok? Kamu juga,
Parno?
Pak Parno : Iya, Ndoro kanjeng. Adik saya punya kios
counter di sana.
Mbok Iyem :
Saya juga, Ndoro. Anak saya jualan bunga di sana.
Bupati :
Oh, jadi begitu?
Ahmad :
Bagaimana sekarang, Pak? Apakah Bapak
tetap tega ingin manertibkan kios-kios itu?
Bupati : Iya,
saya akan tetap menertibkan kios-kios di pinggir jalan yang mengganggu
itu.
Ahmad :
Tapi, Pak. Apa Bapak tidak kasihan dengan mereka? Mereka akan berjualan di
mana, Pak? Hanya di sanalah mata pencaharian mereka..
(mbok Iyem dan pak Parno terdiam sejenak dan tiba-tiba
mbok Iyem menangis)
Bupati :
Mbok! Kenapa kamu menangis?
Mbok Iyem : Saya
sedih, Ndoro. Meratapi nasib kami sebagai wong cilik yang tidak bisa berbuat
apa-apa membeli hak kami.
Ahmad :
Pak tolong bantulah mereka. Kasihan anak dan saudara mereka mau makan apa
mereka jika tempat mereka mengais rejeki digusur?
Bupati : Tidak! Saya akan tetap menertibkan
kios-kios itu. Kios-kuios itu telah
mengganggu ketertiban jalan. Lagipula mereka tidak punya hak atas lahan mereka
sekarang. Itu milik pemerintah. (hendak melangkah pergi meninggalkan tiga orang
yang ada di dalam)
Ahmad : Pak, sebentar! Tolong Jangan pergi dulu,
Pak! Baiklah, kami akan terima keputusan Bapak.
Pak Parno : Mas! Kenapa malah menyetujuinya? Kenapa Mas
tidak membeli kami?
Ahamd :
(setengah berbisik pada pak parno)
Tenang saja, Pak.
Saya punya ide bagus.
Bupati : (manghentikan langkah kakinya kemudian
berbalik dan kembali duduk di kursi malas.
Baguslah kalau kamu
setuju, Mad. Kamu memang ajudanku yang paling setia. Tidak mau membantah
perintahku. Besok kamu komandani pelaksanaan penertiban itu!
Ahmad : Maaf, Pak. Saya setuju keputusan Bapak asalkan ada satu syarat yang harus
Bapak penuhi. Ini saa sebagai wakil mereka yang menjadi korban penggusuran. Di
samping itu saya juga tetap sebagai ajudan Bapak yang tetap setia menemani
bapak.
Bupati : Apa?! Berani-beraninya kamu
mengajukan syarat kepadaku?
Ahmad : Ini juga demi Bapak agar tetap
dihormati rakyat dan dipercaya oleh rakyat bahwa Bapak adalah wakil rakyat yang
merakyat. Sebagai pengikut Bapak saya tidak inginrakyat membenci Anda.
Bupati :
Ehm… Baiklah. Apa syratmu?
Ahmad : Kami ingin Bapak menyiapkan lahan baru
yang strtegis yang bisa menjadi tempat mereka mengais rejeki. Saya ingin Bapak
mengganti kerugian-kerugian yang mereka alami dengan membangunkan kios-kios
baru di lahan yang disediakan.
Bupati : Oh, bagus juga ide kamu. Dengan
begitu mereka tidak akan menuntut macam-macam dan tidak akan mengamuk, kan?
Baiklah, saya bersedia.asalkan kamu bisa menjamin bahwa mereka tidak akan
melakukan aksi protes lagi sampai mengamuk.
Ahmad : Baik, Pak. Kalau perlu saya akan sekalian
berunding dengan mereka dan mendekati mereka perlahan-lahan.
Bupati : Baiklah, besok itu menjadi urusanmu. Mbok
Iyem, Parno! Apakah kalian setuju?
Pak Parno :
(wajahnya cerah dan tidak muram lagi)
Baiklah, kami
setuju, Ndoro. Tapi apakah sudah ada lahan yang Ndoro kanjeng siapkan?
Bupati : Sudah ada. Kalian tenang saja. Nanti
akan saya tunjukkan pada Ahmad, biar dia
yang menunjukkan paa kalian.
Ahmad : Mbok Iyem, Pak Parno..kalian tenang saja, ya? Besok akan saya bicarakan
dengan keluarga kalian.
Mbok Iyem : Mas
Ahmad, saya percaya sama sampeyan. Saya percaya Mas Ahmad tidak akan
membohongi kami.
Ahmad : Mbok, saya ini juga orang kecil. Saya
ingin membantu saudara-saudara saya seperti kalian.
Bupati : Baiklah, Mad. Kamu atur saja bagaimana
baiknya, usahakan mereka tidak melakukan aksi anarkis untuk memprotes saya.
Redam amarah mereka.
Ahmad : Baiklah,Pak. Tetapi, Pak. Besok saya
ingin menyembunyikan identitas saya sebagai ajudan Bapak. Ketika Bapak besok
datang ke sana pura-puralah tidak mengenali saya.
Bupati : Baiklah. Terserah kamu saja.
Tirai panggung berjalan kemudian menutup
layar panggung para Pemain pun tak terlihat lagi.
Babak II
Panggung diatur layaknya pinggiran jalan. Di sana
terdapat kios-kios yang berjajaran. Di sisi kiri pinggir jalan terdapat kios
counter yang dijaga seorang pemuda tinggi kurus. Di sampingnya ada kios bunga
yang dijaga oleh seorang gadis cantik. Di sebelahnya lagi ada warung makan
sederhana yang dijaga seorang ibu setengah
baya.
Adegan 1
Bu Suti
penjual makanan di warung makan sederhana sedang sibuk membuatkan kopi seorang
pedagang mie ayam keliling. Sesaat kemudian terjadi percakapan kecil diantara
mereka. Parmin penjual pulsa dan retno penjual bunga pun turut bergabung dengan Bu suti dan
pedagang tersebut.
Bu suti : Katanya wakil rakyat tapi kenapa
tidak mau membeli rakyat? Seenaknya saja kita mau diusir.
Parmin : Benar, Bu. Mereka tidak bisa
seenaknya saja menggusur lahan tempat mata pencaharian kita.
Pedagang
mie: Memangnya kapan mereka mau menggusur kios-kios ini, Bu?
Bu suti : Saya sih kurang tahu.
Retno : Saya dengar besok.
Parmin : Mereka memang
semena-mena terhadap kita.
Pedagang
mie : Tapi saya dengar kabar baru dari Kabupaten bahwa warga
yang mempunyai kios-kios di sini akan mendapat ganti rugi. Apakah itu benar?
Bu Suti : Walah, paling-paling itu Cuma untuk
meredam amarah kita biar kita tidak membuat rusuh ke Kabupaten. Kita Jangan
terpancing dengan omongan mereka. Omongan pejabat kok dipercaya.
Retno : Tapi walau bagaimanapun juga kita
harus mendengarkan dulu apa yang ditawarkan pemerintah. Jika memang kita akan
mendapat ganti rugi dan penggantinya sesuai dengan kerugian yang kita deita
kenapa tidak kita terima saja?
Parmin : Benar juga sih. Lagipula kita tidak punya hak atas tanah ini. Tanah
ini memang milik pemerintah yang seharusnya tidak boleh di pakai seenaknya tanpa izin.
Bu Suti : Tapi kita sudah terlanjur menjadikan
tempat ini sebagai temapat kita mengais rejeki. Harusnya mereka tidak boleh
seenaknya menggusur. Kenapa baru sekarang mereka melarang kita berjualan di
sini, seharusnya mereka bilang dari dulu sesbelum terlanjur seperti ini.
Retno : Iya, saya
mengerti. Saya juga kecewa dengan
mereka.
Pedagang mie: Iya, Bu. Sabar saja.
Bu Suti : (semakin kesal) Sabar sih sabar, Pak. Tapi sampai kapan kita terus
diinjak-injak seperti ini?
(pembicaraan berhenti sementara
ketika mereka merasa gelisah memikirkan bagaimana nasib mereka setelah kios
mereka digusur)
Adegan 2
Datang
seorang pemuda kemudian masuk ke warung Bu Suti yang saat itu masih menjadi
tempat perbincangan para pedagang.
Ahmad : Bu, saya pesan lontong sayur satu sama teh hangat.
Bu Suti : Baik, Mas. Tunggu sebentar.
Ahmad : Ada apa ini, Bu? Kok kelihatannya
rame jadi tempat ngobrol para pedagang?
Bu Suti :
Ini lho, Mas. Kami sedang membicarakan tentang tindakan pemerintah yang semena-mena terhadap kami.
Ahmad : Semena-mena bagaimana Maksudnya?
Retno : Mereka mau menggusur kios-kios
kami yang sudah berdiri belasan tahun di
sini, Mas.
Parmin : Mereka itu memang kurang ajar.
Tega-teganya mengusir kami. Kalau kios-kios kami di gusur bagaimana kami
mencari makan untuk keluarga kami?
Bu Suti :
Iya, benar. (sambil menawarkan makanan yang dipesan Ahmad) Ini
pesanannya, Mas.
Ahamad : Tapi bukankah kalian belummendengarkan
keterangan lebih lanjut dari pemerintah?
Retno : Memang benar, Mas. Tapi sampai
saat ini kami belum bertemu dengan petugas atau pejabat Kabupaten yang
menangani masalah ini. Seharusnya mereka
datang ke sini.
Bu Suti : (wajahnya masih terlihat
kesal)
Paling-paling mereka
tidak ada yang datang. Yang mereka turunkan ke sini hanya truk-truk besar yang akan menghancurkan kios-kios kita.
Retno :
Jangan langsung berburuk sangka dulu, Bu. Mungkin nanti juga akan ada yang datang ke sini.
Bu Suti : Tapi saya malas mendengar ocehan
mereka yang membual itu. Banyak
bohongnya daripada benarnya.
Retno : Kita dengarkan saja penjelasan mereka kalau mereka
datang ke sini.
Parmin : Iya, saya setuju dengan mbak Retno.
Ahmad : Nah, lebih baik Bu Suti juga mengikuti saran mbak Retno
ini.
Adegan 3
Bupati
datang bersama dengan ajudannya yang kedua.
Bupati : Selamat pagi, Bu.
Bu Suti : Selamat pagi. Pak Bupati , tho?
Retno :
Silakan duduk, Pak.
Bu Suti : Maaf, Pak. kami tahu kedatangan
Bapak ke sini adalah untuk membicarakan masalah penggususran kios-kios
kami, kan?
Bupati : Iya, Benar. Kami ke sini ingin
menawarkan ganti rugi yang saudara
sekalian alami.
Parmin : Apa yang Bapak tawarkan kepada kami?
Bupati : Saya akan mengganti semua kerugian
dengan menyediakan lahan baru untuk
saudara sekalian beserta kios-kios yang baru.
Retno : Bagaimana kami bisa percaya sama
Bapak? Karena biasanya kami selalu dibohongi. Bilangnya akan diganti tapi tidak
ada realisasinya.
Ahmad : Begini, Pak. saya di sini
memang bukan pedagang, tapi saya sebagai orang yang tahu hukum saya mewakili
saudara-saudara di sini untuk mengusulkan agar Bapak memberikan surat perjanjian
sesuai aturan hukum. Bagaimana menurut Bapak?
Bupati : Baiklah, saya setuju. Kapan kita buat surat itu?
Retno : Tunggu sebentar. Kami ingin mengetahui kapan kami akan dibuatkan
kios-kios tersebut?
Bupati : Secepatnya.( dengan mantap dan tegas Beliau menjawab)
Parmin : Kami juga ingin kepastian bahwa
lokasi yang Bapak tawarkan benar-benar strategis untuk kami.
Bu Suti : Iya benar.
Bupati : (diam sejenak) Baiklah.
Ahmad : Kalau begitu kesepakatannya bahwa kios ini boleh
digusur setelah bangunan baru yang tersedia sudah jadi. Saya secepatnya akan
membuatkan surat perjanjian itu sebagai penguat yang sah secara hukum.
Bupati : Saya minta Anda
mengatur masalah ini dengan baik.
Ahmad : Baik, Pak.
(kesepakaan
telah didapatkan. Akhirnya keresahan warga berkurang. Tinggal menunggu
janji-janji Bupati yang sudah dikatakan. Dengan bantuan Ahmad hal itu bisa
diatasi secara hukum dengan perjanjian hitam diatas putih)
Tirai
panggung perlahan manutup. Tanda bahwa cerita telah berakhir.
Semarang, 05 Mei
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar