Rabu, 27 Maret 2013

Resah Rusuh



Resah Rusuh
Pemain :
Ahmad                     Retno
Bupati                       Bu Suti
Mbok Iyem               Parmin
Pak Parno               Pedagang mie ayam keliling
Babak I
            Panggung diatur persis seperti di ruang dalam pendopo Kabupaten  yang di dalamnya terdapat kursi malas dan meja marmer bundar. Di atasnya terdapat lampu terang yang menjadi penerang. Karena ruang dalam ini sangat gelap dari pencahayaan luar. Tembok pemisah ruang dalam dengan ruang tamu dipajang ukiran-ukiran indah yang terbuat dari kayu. Ukiran-ukiran itu memperindah tembok ruang dalam tersebut.
Adegan 1
            Pagi hari ketika banyak orang mulai beraktivitas di pendopo, mbk Iyem seang membersihkan ruang dalam sambil menembangkan tembang kinanthi yang sangat disukainya. Dia menyapu lantai dan membersihkan kursi malas kesukaan majikannya. Ketika sedang asik-asiknya mendendangkan tembang kinanthi, datang pak Parno tukang kebun di pendopo.
Pak Parno     : (dengan langkah yang pelan langsung masuk ruang dalam dan mengagetkan mbok Iyem)
Sedang apa, Mbok?
Mbok Iyem    : (terkejut dan spontan menjatuhkan sapu yang sedang dia pegang)
Waduh, Parno… Kamu ini ngagetin saja.
Pak Parno     : Maaf, Mbok. Saya tidak sengaja ngegetin mbok Iyem. Saya Cuma tanya mbok sedang apa.
Mbok Iyem   : Lha, kamu lihat mbok ini sedang apa? Mbok sedang nyapu lantai, tho?
Pak Parno      : Iya, Mbok… Saya sedang bingung, Mbok.
Mbok Iyem    : Bingung kenapa?
Pak Parno      : (terdiam sejenak seperti sedang berpikir)
Saya bingung mikirin adik saya yang punya kios counter di pinggir jalan itu, Mbok.
Mbok Iyem  : Lho, kenapa bingung? Adikmu tidak apa-apa, tho? Dia sehat-sehat saja, tho?
Pak Parno      : Iya, Mbok. Adik saya sehat. Tapi sekarang dia lagi bingung karena kios-kios yang ada di sepanjang pinggir jalan katanya akan digusur.
Mbok Iyem   : (setengah kaget dan tidak sadar langsung membanting sapu yang dia pegang)
Apa?! Digusur? Kok bisa? Terus nanti anak saya retno mau jualan dimana? Anak saya juga berjualan bunga di sana. Lha, terus bagaimana nasib anak saya? (seperti orang bingung dan hampir menangis)
Pak Parno      : (semakin tambah bingung karena melihat mbok Iyem yang hendak menangis)
Lho, Mbok. Jangan menangis! Nanti saya malah tambah pusing gimana, Mbok? Nanti kalau ndoro majikan datang gimana? Atau mas ahmad ajudan ndoro majikan tiba-tiba masuk gimana?
Mbok Iyem     : (tangisnya semakin mengeras dan airmatanya keluar)
Mbok takut Retno tidak bisa jualan lagi, Parno... Bagaimana nasib keluarga mbok nanti?
Pak Parno    : Ya, sudahlah, Mbok… Kita sabar saja. Kita pasrah pada Allah. Kita berdo’a semoga penggususran itu tidak jadi. Semoga ndoro majikan tidak semena-mena terhadap wong cilik seperti kita, ya, Mbok.

Adegan 2
Datang seorang pemuda gagah bernama Ahmad. Dia adalah ajudan bupati yang selalu mengawal Beliau kemana pun Beliau pergi. Dia berjalan tegap menghampiri mbok Iyem dan pak Parno.
Ahmad       : (dengan sopan dia masuk ruang tengah dan mengetuk pintu dalam)
Assalaamu’alaikum…
Pak Parno   : Waalaikumsalam…
Ahamad    : Lho, Mbok. Kenapa nangis? Terus pak Parno juga kenapa kelihatan sedih? Ada masalah?
Pak Parno : Kami sedang bingung, Mas. Bingung mikirinnasib saudara dan keluarga kami yang berjualan di pinggir jalan. Bukankah katanya kios-kios di pinggir jalan akan digusur?
Ahmad         : Dari mana Pak Parno tahu tentang hal itu?
Pak Parno  : Saya tahu dari adik saya yang punya kios counter di sana, Mas. Berita itu benar, ya, Mas?
Ahmad        : Iya, Pak. Berita itu benar. Kanjeng Bupati ingin menertibkan kios-kios di pinggir jalan yang dirasakan mengganggu ketertiban jalan.
Pak Parno    : (menunduk dan bertambah sedih)
Bagaimana nasib adikku nanti, Mas?
Mbok Iyem   : Benar, Den. Bagaimana juga nasib Retno anakku?
Ahmad         :  Mbok juga punya anak yang jualan di sana?
Mbok Iyem  : Iya, Den. Anak saya jualan bunga. Den, kalau bisa bantulah kami ini. Kalau ios-kios mereka digusur di mana lagi mereka akan berjualan?
Ahmad       : Maafkan saya, Mbok. Saya ini hanya seorang ajudan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Pak Parno   : Tapi Mas Ahmad adalah ajudan Kanjeng Bupati yang sangat Beliau percayai. Tiap perkataan Mas didengarkan oleh beliau. Kami mohon cobalah bicara pada kanjeng Bupati, Mas.
Ahmad     : Baiklah akan saya coba. (duduk di samping Mbok Iyem mencoba menenangkan)

Adegan 3
            Ketika tiga orang yang ada di ruang dalam diam, masuklah Bupati ke ruang dalam . wajahnya tampak tenang dan santai. Sesekali dia tersenyum sendiri. Beliau masuk dan langsung menduduki kursi malas tanpa memperhatikan tiga orang yang ada di dalam.
Ahamd           : Maaf, Pak. Kenapa Bapak tersenyum sendiri? (memandang heran kepada majikannya yang sedang tersenyum sendiri)
Bupati           : Eh, kamu, Mad. Tidak ada apa-apa. Saya hanya merasa senang saja dengan keadaan hari ini yang tenang tak ada gaduh dari masyarakat yang protes tentang penggusuran kios-kios di pinggir jalan itu.
Ahmad        : Pak, apa tidak sebaiknya rencana Bapak untuk menertibkan kios-kios itu dibatalkan saja?
Bupati           : (kaget dan berdiri menggebrak meja)
Apa?! Apa maksudmu bicara seperti itu? Kamu ini Jangan bicara macam-macam sama saya! Kamu ini hanya seorang ajudan yang tidak punya hak apa-apa untuk bicara.
Mbok Iyem     : (mendengar gebrakan meja yang dilakukan  majikannya dia menjadi kaget dan takut)
Pak parno      : (berbisik pada mbok Iyem)
Mbok, saya takut. Lebih baik kita pergi saja, yuk?
Mbok Iyem    : Iya, saya juga takut. Kita pergi saja ke dapur sekarang!
Ahmad           : (melihat ke arah mbok Iyem dan pak Parno yang mau meninggalkan ruangan)
Mbok, Jangan pergi kemana-mana. Di sini saja sama Pak parno juga. Kita  bicarakan maksud kita pada Bapak.
Mbok Iyem     : Baik, Den.
Bupati            : Ahmad! Jelaskan maksud kamu tadi! Kenapa mereka juga harus di sini?
Ahmad           : Pak, mereka ini sedang bingung dan sedih karena kios keluarga mereka juga ikut tergusur. Padahal itu satu-satunya mata pencaharian mereka untuk menghidupi keluarga.
Bupati           : Benar begitu, Mbok? Kamu juga, Parno?
Pak Parno    : Iya, Ndoro kanjeng. Adik saya punya kios counter di sana.
Mbok Iyem    : Saya juga, Ndoro. Anak saya jualan bunga di sana.
Bupati           : Oh, jadi begitu?
Ahmad           : Bagaimana  sekarang, Pak? Apakah Bapak tetap tega ingin manertibkan kios-kios itu?
Bupati            : Iya,  saya akan tetap menertibkan kios-kios di pinggir jalan yang mengganggu itu.
Ahmad           : Tapi, Pak. Apa Bapak tidak kasihan dengan mereka? Mereka akan berjualan di mana, Pak? Hanya di sanalah mata pencaharian mereka..
(mbok Iyem dan pak Parno terdiam sejenak dan tiba-tiba mbok Iyem menangis)
Bupati            : Mbok! Kenapa kamu menangis?
Mbok Iyem     : Saya sedih, Ndoro. Meratapi nasib kami sebagai wong cilik yang tidak bisa berbuat apa-apa membeli hak kami.
Ahmad           : Pak tolong bantulah mereka. Kasihan anak dan saudara mereka mau makan apa mereka jika tempat mereka mengais rejeki digusur?
Bupati            : Tidak! Saya akan tetap menertibkan kios-kios itu. Kios-kuios  itu telah mengganggu ketertiban jalan. Lagipula mereka tidak punya hak atas lahan mereka sekarang. Itu milik pemerintah. (hendak melangkah pergi meninggalkan tiga orang yang ada di dalam)
Ahmad           : Pak, sebentar! Tolong Jangan pergi dulu, Pak! Baiklah, kami akan terima keputusan Bapak.
Pak Parno    : Mas! Kenapa malah menyetujuinya? Kenapa Mas tidak membeli kami?
Ahamd           : (setengah berbisik pada pak parno)
Tenang saja, Pak. Saya punya ide bagus.
Bupati            : (manghentikan langkah kakinya kemudian berbalik dan kembali duduk di kursi malas.
Baguslah kalau kamu setuju, Mad. Kamu memang ajudanku yang paling setia. Tidak mau membantah perintahku. Besok kamu komandani pelaksanaan penertiban itu!
Ahmad           : Maaf, Pak. Saya setuju keputusan  Bapak asalkan ada satu syarat yang harus Bapak penuhi. Ini saa sebagai wakil mereka yang menjadi korban penggusuran. Di samping itu saya juga tetap sebagai ajudan Bapak yang tetap setia menemani bapak.
Bupati         : Apa?! Berani-beraninya kamu mengajukan syarat kepadaku?
Ahmad      : Ini juga demi Bapak agar tetap dihormati rakyat dan dipercaya oleh rakyat bahwa Bapak adalah wakil rakyat yang merakyat. Sebagai pengikut Bapak saya tidak inginrakyat membenci Anda.
Bupati            : Ehm… Baiklah. Apa syratmu?
Ahmad           : Kami ingin Bapak menyiapkan lahan baru yang strtegis yang bisa menjadi tempat mereka mengais rejeki. Saya ingin Bapak mengganti kerugian-kerugian yang mereka alami dengan membangunkan kios-kios baru di lahan yang disediakan.
Bupati            : Oh, bagus juga ide kamu. Dengan begitu mereka tidak akan menuntut macam-macam dan tidak akan mengamuk, kan? Baiklah, saya bersedia.asalkan kamu bisa menjamin bahwa mereka tidak akan melakukan aksi protes lagi sampai mengamuk.
Ahmad           : Baik, Pak. Kalau perlu saya akan sekalian berunding dengan mereka dan mendekati mereka perlahan-lahan.
Bupati            : Baiklah, besok itu menjadi urusanmu. Mbok Iyem, Parno! Apakah kalian setuju?
Pak Parno    : (wajahnya cerah dan tidak muram lagi)
Baiklah, kami setuju, Ndoro. Tapi apakah sudah ada lahan yang Ndoro kanjeng siapkan?
Bupati            : Sudah ada. Kalian tenang saja. Nanti akan saya tunjukkan pada Ahmad, biar  dia yang menunjukkan paa kalian.
Ahmad           : Mbok Iyem, Pak Parno..kalian  tenang saja, ya? Besok akan saya bicarakan dengan keluarga kalian.
Mbok Iyem     : Mas Ahmad, saya percaya sama sampeyan. Saya percaya Mas Ahmad tidak akan membohongi kami.
Ahmad           : Mbok, saya ini juga orang kecil. Saya ingin membantu saudara-saudara saya seperti kalian.
Bupati            : Baiklah, Mad. Kamu atur saja bagaimana baiknya, usahakan mereka tidak melakukan aksi anarkis untuk memprotes saya. Redam amarah mereka.
Ahmad           : Baiklah,Pak. Tetapi, Pak. Besok saya ingin menyembunyikan identitas saya sebagai ajudan Bapak. Ketika Bapak besok datang ke sana pura-puralah tidak mengenali saya.
Bupati            : Baiklah. Terserah kamu saja.
                        Tirai panggung berjalan kemudian menutup layar panggung para Pemain pun tak terlihat lagi.

Babak II
            Panggung diatur layaknya pinggiran jalan. Di sana terdapat kios-kios yang berjajaran. Di sisi kiri pinggir jalan terdapat kios counter yang dijaga seorang pemuda tinggi kurus. Di sampingnya ada kios bunga yang dijaga oleh seorang gadis cantik. Di sebelahnya lagi ada warung makan sederhana yang dijaga seorang ibu setengah  baya.
Adegan 1
            Bu Suti penjual makanan di warung makan sederhana sedang sibuk membuatkan kopi seorang pedagang mie ayam keliling. Sesaat kemudian terjadi percakapan kecil diantara mereka. Parmin penjual pulsa dan retno penjual bunga  pun turut bergabung dengan Bu suti dan pedagang tersebut.
Bu suti           : Katanya wakil rakyat tapi kenapa tidak mau membeli rakyat? Seenaknya saja kita mau diusir.
Parmin           : Benar, Bu. Mereka tidak bisa seenaknya saja menggusur lahan tempat mata pencaharian kita.
Pedagang mie: Memangnya kapan mereka mau menggusur kios-kios ini, Bu?
Bu suti           : Saya sih kurang tahu.
Retno             : Saya dengar besok.
Parmin           : Mereka memang  semena-mena terhadap kita.
Pedagang mie          : Tapi saya  dengar kabar baru dari Kabupaten bahwa warga yang mempunyai kios-kios di sini akan mendapat ganti rugi. Apakah itu benar?
Bu Suti          : Walah, paling-paling itu Cuma untuk meredam amarah kita biar kita tidak membuat rusuh ke Kabupaten. Kita Jangan terpancing dengan omongan mereka. Omongan pejabat kok  dipercaya.
Retno             : Tapi walau bagaimanapun juga kita harus mendengarkan dulu apa yang ditawarkan pemerintah. Jika memang kita akan mendapat ganti rugi dan penggantinya sesuai dengan kerugian yang kita deita kenapa  tidak kita terima saja?
Parmin           : Benar juga sih. Lagipula  kita tidak punya hak atas tanah ini. Tanah ini memang milik pemerintah yang seharusnya tidak boleh di pakai seenaknya  tanpa izin.
Bu Suti          : Tapi kita sudah terlanjur menjadikan tempat ini sebagai temapat kita mengais rejeki. Harusnya mereka tidak boleh seenaknya menggusur. Kenapa baru sekarang mereka melarang kita berjualan di sini, seharusnya mereka bilang dari dulu sesbelum terlanjur seperti ini.
Retno             :  Iya, saya mengerti. Saya  juga kecewa dengan mereka.
Pedagang mie: Iya, Bu. Sabar saja.
Bu Suti          : (semakin kesal) Sabar  sih sabar, Pak. Tapi sampai kapan kita terus diinjak-injak seperti ini?
(pembicaraan berhenti sementara ketika mereka merasa gelisah memikirkan bagaimana nasib mereka setelah kios mereka digusur)

Adegan 2  
            Datang seorang pemuda kemudian masuk ke warung Bu Suti yang saat itu masih menjadi tempat perbincangan para pedagang.
Ahmad           : Bu, saya pesan lontong sayur satu sama teh hangat.
Bu Suti          : Baik, Mas. Tunggu sebentar.
Ahmad           : Ada apa ini, Bu? Kok kelihatannya rame jadi tempat ngobrol para pedagang?
Bu  Suti         : Ini lho, Mas. Kami sedang membicarakan tentang tindakan pemerintah  yang semena-mena terhadap kami.
Ahmad           : Semena-mena bagaimana Maksudnya?
Retno             : Mereka mau menggusur kios-kios kami yang sudah berdiri belasan tahun  di sini, Mas.
Parmin           : Mereka itu memang kurang ajar. Tega-teganya mengusir kami. Kalau kios-kios kami di gusur bagaimana kami mencari makan untuk keluarga kami?
Bu Suti          :  Iya, benar. (sambil menawarkan makanan yang dipesan Ahmad) Ini pesanannya, Mas.
Ahamad         : Tapi bukankah kalian belummendengarkan keterangan lebih lanjut dari pemerintah?
Retno             : Memang benar, Mas. Tapi sampai saat ini kami belum bertemu dengan petugas atau pejabat Kabupaten yang menangani masalah ini. Seharusnya  mereka datang ke sini.
Bu Suti          : (wajahnya masih terlihat  kesal)
Paling-paling mereka tidak ada yang datang. Yang mereka turunkan ke sini hanya truk-truk besar  yang akan menghancurkan kios-kios kita.
Retno             :  Jangan langsung berburuk sangka dulu, Bu. Mungkin  nanti juga akan ada yang datang ke sini.
Bu Suti          : Tapi saya malas mendengar ocehan mereka yang membual itu. Banyak  bohongnya daripada  benarnya.
Retno             : Kita  dengarkan saja penjelasan mereka kalau mereka datang ke sini.
Parmin           : Iya, saya setuju dengan mbak Retno.
Ahmad           : Nah, lebih baik Bu Suti juga mengikuti saran mbak Retno ini.
Adegan 3
            Bupati datang bersama dengan ajudannya yang kedua.
Bupati            : Selamat pagi, Bu.
Bu Suti          : Selamat pagi. Pak Bupati , tho?
Retno             : Silakan   duduk, Pak.
Bu Suti          : Maaf, Pak. kami tahu kedatangan Bapak ke sini adalah untuk membicarakan masalah penggususran kios-kios kami,  kan?
Bupati            : Iya, Benar. Kami ke sini ingin menawarkan ganti rugi yang saudara  sekalian alami.
Parmin           : Apa yang Bapak tawarkan kepada kami?
Bupati            : Saya akan mengganti semua kerugian dengan menyediakan  lahan baru untuk saudara sekalian beserta kios-kios yang baru.
Retno             : Bagaimana kami bisa percaya sama Bapak? Karena biasanya kami selalu dibohongi. Bilangnya akan diganti tapi tidak ada  realisasinya.
Ahmad           : Begini, Pak. saya di sini memang  bukan pedagang, tapi saya  sebagai orang yang tahu hukum saya mewakili saudara-saudara di sini untuk mengusulkan agar Bapak memberikan surat perjanjian sesuai aturan hukum. Bagaimana menurut Bapak?
Bupati            : Baiklah, saya setuju. Kapan kita  buat surat itu?
Retno             : Tunggu sebentar. Kami  ingin mengetahui kapan kami akan dibuatkan kios-kios tersebut?
Bupati            : Secepatnya.( dengan mantap dan tegas Beliau menjawab)
Parmin           : Kami juga ingin kepastian bahwa lokasi yang Bapak tawarkan benar-benar strategis untuk kami.
Bu Suti          : Iya benar.
Bupati            : (diam sejenak) Baiklah.
Ahmad           : Kalau  begitu kesepakatannya bahwa kios ini boleh digusur setelah bangunan baru yang tersedia sudah jadi. Saya secepatnya akan membuatkan surat perjanjian itu sebagai penguat yang sah secara hukum.
Bupati            : Saya  minta Anda mengatur masalah ini dengan baik.
Ahmad           : Baik, Pak.
            (kesepakaan telah didapatkan. Akhirnya keresahan warga berkurang. Tinggal menunggu janji-janji Bupati yang sudah dikatakan. Dengan bantuan Ahmad hal itu bisa diatasi secara hukum dengan perjanjian hitam diatas putih)
            Tirai panggung perlahan manutup. Tanda bahwa cerita telah berakhir.
Semarang, 05 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar