Malam yang kelam. Angin pun berhembus kencang seakan ingin mematahkan ranting-ranting
pepohonan. Di sudut perumahan elit terlihat rumah besar yang terang dengan
cahaya lampu di setiap sudut-sudut rumah. Tirai jendela kamar atas terbuka,
masih terang dengan sorot lampu yang temaram. Risa masih
terjaga di depan komputernya. Dia masih sibuk dengan tugas-tugas
kuliahnya. Rupanya dinginnya angin malam yang
masuk ke kamarnya melalui celah-celah jendela tidak membuatn ya
merasa kedinginan. Dia masih terus sibuk
menekan tombol-tombol keyboard komputernya.
“Tok…Tok…Tok…”
terdengar ketukan pintu yang membuat Risa kaget.
“Iya, sebentar,” Risa membuka pintu
kamarnya.
“Ma, ada apa? Mama belum tidur?”
tanya Risa pada mamanya.
“Belum, kamu sendiri belum tidur,
Nak?”
“Masih
banyak tugas yang harus Risa selesaikan.”
“Memangnya
harus selesai malam ini juga?” tanya mamanya.
“Iya, Ma. Besok dikumpulkan. Mama
sendiri kenapa belum juga tidur? Ini sudah malam, Ma.”
“ Mama belum bisa tidur.”
Risa memandangi wajah mamanya yang
terlihat geli sah. Dia memegang tangan mamanya dengan lembut.
“Ma, ada masalah apa? Cerita sama
Risa.”
“Ris, kamu adalah satu-satunya anak
Papa Mama. Kamu sekarang sudah dewasa.
Sedangkan kami sudah tua, sudah pengen
menimang cucu. Apa kamu tidak ingin menikah, Nak?”
“Ma, Risa kan masih kuliah. Sekarang aja
masih semester 7. risa ga mau menikah
dulu sebelum lulus kuliah. Risa belum siap membina keluarga sambil kuliah.
Lagipula belum ada yang Risa sukai.”
“Tapi jika sudah ada calonnya apa
kamu mau menikah?”
“Risa masih malas mikir nikah, Ma…”
“Ya sudah, Mama hanya mengungkapkan harapan-harapan Mama.”
“Ma, marah, ya? Maafin Risa karena
mengecewakan Mama.”
“Ga kok. Mam
ga marah. Tapi, Nak . kenapa kamu ga
cepet-cepet nyari calon suami?”
“Mama… Risa saat ini ga semepet ngurusin
itu. Ya udah gini aja, kalau nanti Risa sudah ketemu yang cocok, Risa akan
bilang sama Mama. Tapi Risa ga mau pacaran. Risa maunya langsung dikhitbah trus
nikah, hehehe…”
“Kamu ini… Ya sudah Mama setuju saja
sama kamu. Tapi katanya kamu ga mau nikah
sebelum lulus? Kalau dia ingin menikah dengan
kamu secepatnya gimana, hayo…?”
“Ehm…
Entahlah. Kita lihat aja
nanti.”
“Dasar kamu…!” kata mamanya sambil
mencubit pipi Risa yang imut.
“Nak, misalnya kamu ga cepet-cepet
dapat jodoh terus Mama sama Papa yang nyariin kamu jodoh gimana?”
“Ehm… Terserah Mama sama Papa
sajalah. Asalkan Risa cocok sih mau-maua
aja.”
“Ya sudah,
mama lega.”
“Sekarang
Mama tidur aja, gih. Natar sakit lho…”
“Iya,
sayang… Mama tidur dulu. Kamu juga kalau sudah ngantuk dan capek mending tidur
saja, ya?”
“Baik,
Mamaku yang cantik…”
Obrolan
antara anak dan ibu pun berakhir. Risa melanjutkan kesibukannya dengan komputer
kesayangannya. Risa memang anak yang rajin,
berbakti pada orangtua. Tapi sampai
sekarang dia tidak mau memikirkan pacaran. Baginya pacaran adalah
sesuatu yang akan menghambat kuliahnya. Lagipula dia tidak suka melihat gaya pacaran sekarang seperti
yang sering dilakoni teman-temannya di kampus. Dia ingin pacaran yang islami.
Pertama langsung ta’aruf kemudian jika memang cocok kemudian langsung proses
khitbah terus menikah. Itu hal yang
selalu diimpikannya, tapi ternyata samapai
sekarang belum ada lelaki yang cocok dengannya.
Malam sudah terlalu larut, Risa sudah terlihat mengantuk dan capek. Dia pun
langsung mengakhiri pekerjaannya di depan komputer, kemudian Beranjak ke tempat
tidur.
“Kring…Kring…”
Jam
beker Risa berbunyi. Sudah pukul 04.30.
Risa tak sempat lagi sholay lail. Risa lupa memutar jam bekernya di jam sepertiga malam-Nya.
“Aduh… aku terlambat bangun. Tidak
bisa sholat lail deh…” gumamnya dengan perasaan menyesal.
Risa pun bangkit dan segera Beranjak
ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu kemudian kembali ke kamarnya untuk
sholat shubuh.
Pagi ini sangat cerah. Risa
terlihat sudah siap untuk berangkat ke
kampus. Dia ke kampus setiap hari naik
bus umum. Padahal orangtuanyasudah menyediakan mobil untuk dia kuliah. Meskipun dia anak orang kaya, tetapi Risa tidak mau dianggap kaya oleh
teman-temannya. Baginya kekayaan yang terpenting yang harus dimiliki bukanlah
materi tetapi kekayaan ilmu dan hati
yang mulai. Teman-temannya pun terkadang heran dengan sikap Risa yang lebih
suka tampil sederhana ditengah
gemerlapnya kekayaan orangtuanya. Tapi memang
itulah Risa, gadis cantik, sholihah, sederhana, baik,
rajin, dan pintar.
“Hai, Ris, apa kabar pagi ini?
Kelihatannya cerah banget kamu hari ini,” tanya salah seorang temannya.
“Eh, iya, Na. Kamu juga terlihat cantik. Kamu hari ini sudah
mempersiapkan materi yang akan kita presentasikan?”
“Sudah, kok. Tenang aja..”
“Oh, iya, Ris. Aku mau ngomong sama
kamu.”
“Tentang apa?”
“Tentang
cowok.”
“Tentang
cowok? Siapa? Ada yang suka sama kamu?”
“Bukan,
justru dia itu suka sama kamu. Dia ingin kenalan sama kamu. Katanya sih kalau
kamu setuju mau langsung melamar kamu.”
“Ha?
Kamu ini ada-ada aja, Na.
Jangan bercanda deh…”
“Aku ga bercanda, Ris. Dia itu
saudara sepupuku. Kemarin waktu dia nganter aku ke kampus dia melihat kamu. Dia
langsung tertarik sama kamu. Akau bilang aja kamu itu temen dekatku. Lalu dia minta tolong sama aku untuk bilang sama kamu bahwa
dia suka kamu.”
“Tapi, Na.
Aku kan belum kenal dia.”
“Makanya aku bilang sama kamu agar kamu manu kenalan
sama dia.”
“Sebelumnya
aku harus tahu kepribadiannya dulu, agamanya kuat apa ga, trus juga…….” kata
Risa tanpa berhenti memeberitahukan kriteria yang dia inginkan.
“Kamu
ini, Ris. Banyak syarat. Manusia itu ga ada yang sempurna.”
“Tapi
itu kan wajib.”
“Iya,
iya terserah kamu.”
Mereka pun berlalu dan masuk ke ruang
kuliah.
****
Hari telah berganti. Seperti biasa Risa berangkat kuliah
pagi-pagi naik bus umum yang biasa
mengantarkannya ke kampus. Pagi itu dia melihat kejadian yang membuatnya kagum. Di dalam bus yang dia tumpangi pagi itu
sangat sesak. Dia sendiri berada di samping pintu belakang dekat kondektur.
Dalam keadaan yang sesak seperti itu kondektur tetap saja masih mau menarik
penumpang. Risa melihat ada nenek-nenek yang masuk
lewat pintu depan. Nenek itu mengalami
nasib seperti dia yang tidak mendapat tempat duduk. Risa amat kasihan dengan nenek
itu. Tidak ada satu orang pun pemuda yang mau menawarkan tempat duduknya untuk
nenek itu. Sampai ada seorang pemuda yang tiba-tiba berdiri kemudian
mempersilakan duduk nenek itu dengan sopan. Pemuda itu berdiri di dekat pintu
depan. Risa tidak menyangka di zaman sekarang masih ada pemuda yang mau berbaik
hati dan berjiwa ikhlas seperti dia. Risa terus memperhatikan pemuda itu tanpa
sepengetahuannya. Bus berhenti dan pemuda itu pun turun. Risa masih tetap saja
memandanginya.
“Astaghfirullah…kenapa
aku melihatnya terus. Itu tidak boleh,”
gumamnya.
Bus
terus melaju melewati jalan yang biasa dilewatinya ketika ke kampus. Diam-diam
Risa terus memikirkan pemuda tadi bertanya-tanya sendiri
dalam hati siapakah pemuda itu.. bus berhenti di depan kampusnya dan Risa pun
turun. Sampai di gerbang kampus Erna
langsung datang menyapa.
“Risa,
gimana?”
“Gimana
apanya?”
“Itu
lho tawaranku kemarin.”
“Oh,
tentang saudaramu yang pengen kenalan sama aku? Maaf, Na. Aku lagi malas
mikirin gituan.”
“Tapi
kan kamu belum ketemu dia. Masa
mau langsung kamu tolak? Nanti setelah ketemu pasti kamu bakal suka.”
“Malas ah, Na.”
“Ya sudah kalau kamu ga mau. Aku ga akan maksa kok.”
“Maaf,
Na. Sampaikan maafku juga sama saudaramu.”
“Na,
aku mau cerita sesuatu sama kamu. Tadi di bus aku melihat seorang pemyda yang
berhati mulia, dia mau menawarkan tempat duduknya kepada seorang nenek. Padahal
pemuda-pemuda lain ga ada yang mau. Aku ga nyangka masih ada pemuda yang baik seperti dia.
“Cieh…Ternyata
udah ketemu yang lebih cocok ni ye…
Pantesan aja nolak saudara sepupuku, hehehe…” ledek Erna pada Risa.
“Ga
kok, Na. Akku Cuma kagum aja sama dia.”
“kagum
apa kagum?”
“Udah
donk, Na. Jangan menggodaku terus!”
“Terus
kamu kenalan sama dia? Siapa namanya?”
“Belum.
Dia aja ga tahu tadi sedang aku perhatian.”
“Aduh,
Ris… lalu kelanjutannya gimana?”
“Kelanjutan
apa?”
“Ya
kisah cinta kamu.”
“Ah
, kamu ini ada-ada aja, Na. Kisah cinta apa? Aku kan udah bilang aku ini Cuma
kagum sama dia.”
“Dari
kagum bisa menjadi cinta, kan? Hehehe…”
Risa
diam tersipu dengan candaan Erna. Ternyata diam-diam Risa memang terpesona
dengan pemuda tadi. Dia telah jatuh hati
padanya. Inilah ketika cinta sudah saatnya bicara.
“Apa
ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama, ya?” gumamnya lirih.
“apa, Ris? Kamu tadi bilang apa?”
“Ha? Ee… anu..ee.. ga apa-apa
kok,” jawab Risa dengan gugup.
“Ya udah
kalau gitu, kita masuk kelas aja, yuk?”
Risa
dan Erni pun masuk kelas dan mengikuti perkuliahan seperta biasanya.
****
Malam
yang sepi, hanya terdengar desiran angin lembut yang menggoyangkan dedaunan di
depan rumah. Risa tampak asik dengan
komputernya di kamar. Sedangkan orangtuanya sedang ngobrol di ruang tamu.
“Ma,
Papa punya teman. Dia mempunyai anak laki-laki yang tampan dan kelihatannya dia
baik, punya sopan santun terhadap orangtua. Saya dengar dia suka seorang gadis
tapi gadis itu menolak untuk berkenalan dengan dia. Padahal gadis itu belum melihatnya, karena hal itu dia setuju
saja jika ayahnya yang mencarikan jodoh untuknya.”
“Lalu, maksud Papa menceritakan hal itu
sama Mama apa?”
“Papa ingin punya menantu seperti
dia. Anaknya rajin dan baik. Kira-kira
Risa mau tidak, ya?”
“Maksudnya
Papa mau menjodohkan anak kita dengan anak teman Papa itu?’
“Kira-kira begitulah, Ma. Menurut Mama
gimana?”
“Mama sih
setuju aja asalkan Risa bersedia.”
Tanpa
sepengetahuan mereka Risa ternyata mendengar
pembicaraan orangtuanya. Risa tadinya bermaksud mengambil air minum di
dapur tapi secara tidak sengaja mendengar
pembicaraan orangtuanya. Risa berlari ke kamarnya sembari menangis.
“Kenapa? Kenapa aku menangis?
Bukankah seharusnya aku senang tidak harus susah payah mencari jodoh?”
gumamnya.
Risa terus
menangis. Dia teringat sosok pemuda yang dia lihat di bus kemarin. Sosok pemuda
yang sempat membuatnya terpesona. Bahkan mungkin bukan lagi sempat melainkan
memang sudah membuatnya jatuh hati.
“Ya,
Allah… Apakah aku talah jatuh hati pada pemuda itu? Tapi siapa dia? Bagaimana aku nanti menolak tawaran kedua orangtuaku?
Ya, Allah… Jika memang pemuda itu jodohku,
izinkan aku bertemu dengannya sekali saja.”
****
Hari ini risa libur tidak ada kuliah. Dia dan kedua orangtuanya siap-siap
sarapan bersama. Di meja makan yang luas Risa hendak mengutarakan isi hatinya
tentang penolakan perjodoahan itu tetapi ternyata papanya mendahului.
“Risa, Papa mau bicara sesuatu. Papa sama
Mama mau menjodohkan kamu dengan anak teman Papa. Dia tampan, rajin, dan baik.
Papa rasa cock sama kamu. Apa kamu mau?”
“Maaf, Pa. Risa sudah punya
pilihan sendiri.”
“Oh, ya? Siapa? Kenapa tidak kamu
kenalkan sama kami?’ teriak mamanya dengan kaget karena gembira.
“Risa belum tahu namanya. Risa Cuma baru ketemu sekali di dalam bus. Karena kebaikan
hatinya itu Risa sangat tertarik padanya. Tindak tuturnya sangat sopan. Dan dia juga kelihatannya orang yang sangat
berpendidikan. Risa merasa inilah jodoh risa.”
“Apa katamu? Belum tahu namnya kamu
langsung suka? Tidak! Papa ttidaka akan
setuju. Papa tidak setuju kamu suka pada orang yang ga jelas
asal-usulnya.”
“Risa, Papamu benar.”
“Ma, Pa… Izinkan Risa untuk
mencarinya, jika memang dia adalah jodohku maka kami pasti bisa ketemu lagi
kemudian akan Risa kenalkan pada Mama Papa.”
“Baiklah, kamu punya waktu satu
bulan untuk menemukannya dan mengenalkannya pada kami. Jika
sampai satu bulan belum ketemu maka kamu harus setuju menikah dengan pilihan
Papa”
“Baik,
Pa. Risa setuju,” jawab Risa dengan agak ragu.
****
Hari-hari
Risa lalui untuk mencari pemuda itu. Dia mencari di tempat turunnya pemuda itu dari bus. Tapi hasilnya nihil. sudah hampir satu minggu tapi belum juga
ketemu. Tiba-tiba Erna melihat Risa sedang bingung di pinggir jalan.
“Risa!”
Risa menoleh ke arah sumber suara.
“Erna, sedang apa kamu di sini?”
“Kamu sendiri sedang apa di sisni
seperti orang bingung? Ada masalah?”
Risa pun menceritakan masalah yang
dialami bahwa dia sedang mencari seseorang yang telah membuatnya jatuh hati
dan tentang perjodohan itu.
“Ria, orangtuamu benar, masa kamu
jatuh cinta pada orang yang ga jelas gitu. Jelas saja papamu marah. Apalagi
kamu adalah anak satu-satunya.”
“Tapi aku harus bertemu dulu dengan
pemuda itu. Setiap
aku ingin melupakannya semakin aku ingin memikirkannya.”
“Sekarang
kamu harus memohon pertolongan-Nya, Ris. Hanya Dialah yang mampu menolongmu dan
memberimu petunjuk. Lakukan sholat istikharoh.”
“Kamu
benar, Na. Terima kasih, ya.”
****
Waktu
Risa tinggal satu minggu lagi tapi belum juga ketemu pemuda itu. Risa hanya bisa
berdo’a pada-Nya agar diberi petunjuk.
Sholat istikharoh sudah dia lakukan tapi tetap saja bayangan pemuda itu yang
muncul dalam mimpinya.
“Bagaimana,
Ris?”
“Belum
ketemu, Pa.”
“Waktu
kamu tinggal beberapa hari lagi. Kalau kam u belum juga ketemu maka
lupakan dia dan menikahlah dengan pemuda
pilihan Papa.”
“Baik, Pa. Risa ingat perjanjian itu,”
jawab Risa sambil menangis.
“Nak, sabar, ya. Mama ikut berdo’a semoga kamu menemukan pemuda
itu,” kata ibunya sambil memeluk putri kesayangannya itu.
****
Hari ini adalah hari terakhir untuk
Risa mencari pemuda itu. Risa sudah mencoba mencarinya lagi tapi belum juga
ketemu. Akhirnya Risa menyerah. Risa pulang dengan kesedihan yang tak
terkira.
“Pa,
Risa setuju menikah dengan pilihan Papa.”
“Bagus,
jawaban itulah yang Papa tunggu. Besok keluarga mereka akan datang untuk
melamarmu.”
“Secepat
itu, Pa?”
“Kenapa?
Kamu tidak setuju?”
“Tidak. Risa setuju. Risa akan menurut
sama Papa.”
Malam telah tiba. Risa terduduk lemah di depan meja belajarnya.
“Ya, Allah.. Jika pemuda itu
bukanlah jodohku mengapa Kau pertemukan aku dengannya? Mengapa
Kau selipkan benih-benih cinta-Mu ke dalam hatiku?”
Risa
menangis di kamarnya tanpa ada yang tahu kepeediahan hatinya yang sangat
dalam, sampai alhirnya dia tertidur.
Pagi telah membuka mata Risa. Suasana
hatinya masih sedih. Dia masih belum bisa menerima hari ini dia
akan dilamar orang yang bukan pilihannya.
Dia melihat mamanya sedang sibuk menyiapkan segala
sesuatu untuk tamu istimewa yang akan datang nanti. Iya, tanmu istimewa bagi
orangtuanya, tapi bukan baginya. Dia kembali ke kamar dan melihat gaun indah
dengan jilbab yang sesuai dengan warna gaun yang disediakan mamanya.
“Hari ini aku akan dikhitbah. Ya, Allah… aku dikhitbah seseorang
yang bukan pilihanku. Semoga aku bisa
mencintainya seiring berjalannya waktu. Kelak ketika kami sudah menikah aku
adalah milik suamiku sepenuhnya. Jangan pernah datangkan bayangan pemuda itu di hadapan ku, ya, Allah.…”
Risa memejamkan mata, dalam
sekelebat dia melihat pemuda itu lagi. Dia menangis.
“Ya, Allah.. Hanya Kau yang tahu
maksud semua ini. Maka tunjukkanlah jalan yang terang bagiku.”
Risa tidak akan pernah mengerti ada
sesuatu yang memang sudah diatur oleh Allah. Mengapa dia dipertemukan dengan
pemuda tak bernama itu.
Keluarga yang akan melamar Risa
telah datang. Risa bersiap-siap turun
untuk menemui pemuda yang akan melamarnya beserta keluarga. Risa turun dari
tangga dan menuju ke ruang tamu, kemudian….
“Subhanallah….Anda?” kata Risa
terkejut melihat pemuda yang ada di
ruang tamu.
“Dek Risa? Ya, Allah… Ternyata Dek
Risa yang akan menjadi calon istriku?”
“Bagimana Anda mengenal saya?” tanya Risa
“Saya ini saudaranya Erna yang
kemarin hendak mengutarakan keinginan saya untuk melamar Dek Risa. Lalu bagaimana Dek Risa tahu saya? Bukankah kita belum sempat
bertemu?”
“Subhanallah,
Maha Suci Allah. Andalah yang saya
cari-caru sebulan ini.”
“Saya? Ada
apa?”
Tiba-Tiba
pak Anton ayah Risa memotong pembicaraan mereka yang membuat para tamu bingung.
“Risa, apakah Nak Arif ini yang kamu
cari-cari?”
“Benar, Pa.”
“Ternyata kalau sudah jodoh memang
takkan lari kemana-mana. Nak Arif, anakku Risa ini telah jatuh hati padamu
sejak pertama kali melihatmu di dalam bus. Dia sangat kagum dengan sikapmu yang
sopan terhadap orangtua. Katanya waktu itu dia melihatmu sedang menawarkan
tempat duduk untuk seorang nenek yang berdiri di bus yang
sesak,” jelas ayah Risa kepada Arif dan
keluarganya.
“Oh, jadi begitu.”
“Mungkin ini adalah karma karena
telah menolak Anda ketika Erna memberitahu saya waktu itu. Saya telah menolak
pemuda yang baik seperti Anda tanpa mau melihat dulu siapa Anda, sehingga Allah
menguji saya seperti ini.”
“Dek, mungkin inilah jodoh. Kita mungkin telah
ditakdirkan untuk bersama. Tetapi Allah menguji kita terlebih dahulu untuk
mengetahui sejauh manakah kita mampu bertahan dengan cinta yang telah kita rasakan karena-Nya.
“Baiklah,
bisa kita mulai proses khitbah ini? Sudah tidak ada masalah, bukan?” tanya Pak
Budi ayah Arif.
“Sebentar,
Pa,” kata Arif.
“Dek
Risa, apakah kamu bersedia menjadi
pendampingku untuk selamanya?”.
“Bismillah…Saya
bersedia, Mas, InsyaAllah saya akan mendampingi Mas seumur hidupku kelak ketika
Mas sudah menjadi suamiku,” jawab Risa.
“Baiklah
, saya pikir sekarang tidak ada masalah. Sekarang kalian
resmi bertunangan. InsyaAllah secepatnya kalian akan menikah. Bagaimana, Pak
Anton?” tanya Pak Budi.
“Kami
setuju,” jawab Pak Anton.
“Alhamdulillah…”
serentak semua orang yang ada di ruang tamu berucap hamdalah.
Risa
sangat bahagia dan bersyukur bahwa pemuda
yang selama ini dia cari-cari adalah pilihan ayahnya juga. Berkali-kali
dia berucap syukur pada Yang Maha Kuasa
yang telah mengatur perjalanan hidupnya. Dan
semua berakhir dengan khidmat. Dua minggu lagi mereka akan menikah.
@@@@
Semarang,
17 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar