Jumat, 01 November 2013

Ketika Cinta Bicara



Malam yang kelam. Angin pun berhembus kencang seakan ingin mematahkan ranting-ranting pepohonan. Di sudut perumahan elit terlihat rumah besar yang terang dengan cahaya lampu di setiap sudut-sudut rumah. Tirai jendela kamar atas terbuka, masih terang dengan sorot lampu yang temaram. Risa  masih  terjaga di depan komputernya. Dia masih sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya. Rupanya dinginnya angin malam yang  masuk ke kamarnya melalui celah-celah jendela tidak membuatn ya merasa  kedinginan. Dia masih terus sibuk menekan tombol-tombol keyboard komputernya.
            “Tok…Tok…Tok…” terdengar ketukan pintu yang membuat Risa kaget.
            “Iya, sebentar,” Risa membuka pintu kamarnya.
            “Ma, ada apa? Mama belum tidur?” tanya Risa pada mamanya.
            “Belum, kamu sendiri belum tidur, Nak?”
            “Masih banyak tugas yang harus Risa selesaikan.”
            “Memangnya  harus selesai malam ini juga?” tanya mamanya.
            “Iya, Ma. Besok dikumpulkan. Mama sendiri kenapa belum juga tidur? Ini sudah malam, Ma.”
            “ Mama belum bisa  tidur.”
            Risa memandangi wajah mamanya yang terlihat geli sah. Dia memegang tangan mamanya dengan lembut.
            “Ma, ada masalah apa? Cerita sama Risa.”
            “Ris, kamu adalah satu-satunya anak Papa Mama. Kamu sekarang sudah  dewasa. Sedangkan kami  sudah tua, sudah pengen menimang cucu. Apa kamu tidak ingin menikah, Nak?”
            “Ma, Risa kan masih kuliah. Sekarang aja masih semester 7. risa  ga mau menikah dulu sebelum lulus kuliah. Risa belum siap membina keluarga sambil kuliah. Lagipula belum ada yang Risa sukai.”
            “Tapi jika sudah ada calonnya apa kamu mau menikah?”
            “Risa masih malas mikir nikah, Ma…”
            “Ya  sudah, Mama hanya mengungkapkan  harapan-harapan Mama.”
            “Ma, marah, ya? Maafin Risa karena mengecewakan Mama.”
            “Ga kok. Mam ga marah.  Tapi, Nak . kenapa kamu ga cepet-cepet nyari calon  suami?”
            “Mama… Risa saat ini ga semepet ngurusin itu. Ya udah gini aja, kalau nanti Risa sudah ketemu yang cocok, Risa akan bilang sama Mama. Tapi Risa ga mau pacaran. Risa maunya langsung dikhitbah trus nikah, hehehe…”
            “Kamu ini… Ya sudah Mama setuju saja sama kamu. Tapi katanya kamu ga mau nikah  sebelum lulus? Kalau dia ingin menikah dengan kamu secepatnya gimana, hayo…?”
            “Ehm… Entahlah. Kita lihat aja nanti.”
            “Dasar kamu…!” kata mamanya sambil mencubit pipi Risa yang imut.
            “Nak, misalnya kamu ga cepet-cepet dapat jodoh terus Mama sama Papa yang nyariin kamu jodoh gimana?”
            “Ehm… Terserah Mama sama Papa sajalah. Asalkan Risa cocok sih  mau-maua aja.”
            “Ya sudah, mama  lega.”
            “Sekarang Mama tidur aja, gih. Natar sakit lho…”
            “Iya, sayang… Mama tidur dulu. Kamu juga kalau sudah ngantuk dan capek mending tidur saja, ya?”
            “Baik, Mamaku yang cantik…”
            Obrolan antara anak dan ibu pun berakhir. Risa melanjutkan kesibukannya dengan komputer kesayangannya. Risa memang anak yang rajin,  berbakti pada orangtua. Tapi sampai  sekarang dia tidak mau memikirkan pacaran. Baginya pacaran adalah sesuatu yang akan menghambat kuliahnya. Lagipula dia tidak  suka melihat gaya pacaran sekarang seperti yang sering  dilakoni teman-temannya  di kampus. Dia ingin pacaran yang islami. Pertama langsung ta’aruf kemudian jika memang cocok kemudian langsung proses khitbah terus menikah.  Itu hal yang selalu diimpikannya,  tapi ternyata samapai sekarang belum ada lelaki yang cocok dengannya.
            Malam sudah terlalu larut, Risa  sudah terlihat mengantuk dan capek. Dia pun langsung mengakhiri pekerjaannya di depan komputer, kemudian Beranjak ke tempat tidur.
            “Kring…Kring…”
            Jam beker Risa  berbunyi. Sudah pukul 04.30. Risa tak sempat lagi sholay lail. Risa lupa memutar jam bekernya di jam sepertiga malam-Nya.
            “Aduh… aku terlambat bangun. Tidak bisa sholat lail deh…” gumamnya dengan perasaan menyesal.
            Risa pun bangkit dan segera Beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu kemudian kembali ke kamarnya untuk sholat shubuh.
            Pagi ini sangat cerah. Risa terlihat  sudah siap untuk berangkat ke kampus.  Dia ke kampus setiap hari naik bus umum. Padahal orangtuanyasudah menyediakan mobil untuk dia kuliah.  Meskipun dia anak orang kaya, tetapi  Risa tidak mau dianggap kaya oleh teman-temannya. Baginya kekayaan yang terpenting yang harus dimiliki bukanlah materi tetapi kekayaan ilmu dan  hati yang mulai. Teman-temannya pun terkadang heran dengan sikap Risa yang lebih suka tampil sederhana ditengah  gemerlapnya kekayaan orangtuanya. Tapi memang itulah  Risa,  gadis cantik, sholihah, sederhana, baik, rajin, dan  pintar.
            “Hai, Ris, apa kabar pagi ini? Kelihatannya cerah banget kamu hari ini,” tanya salah  seorang temannya.
            “Eh, iya, Na. Kamu juga  terlihat cantik. Kamu hari ini sudah mempersiapkan materi yang akan kita presentasikan?”
            “Sudah, kok.  Tenang aja..”
            “Oh, iya, Ris. Aku mau ngomong sama kamu.”
            “Tentang  apa?”
            “Tentang cowok.”
            “Tentang cowok?  Siapa? Ada yang suka sama kamu?”
            “Bukan, justru dia itu suka sama kamu. Dia ingin kenalan sama kamu. Katanya sih kalau kamu setuju mau langsung melamar kamu.”
            “Ha? Kamu ini ada-ada aja, Na. Jangan bercanda deh…”
            “Aku ga bercanda, Ris. Dia itu saudara sepupuku. Kemarin waktu dia nganter aku ke kampus dia melihat kamu. Dia langsung tertarik sama kamu. Akau bilang aja kamu itu temen dekatku. Lalu  dia minta tolong  sama aku untuk bilang sama kamu bahwa dia  suka kamu.”
            “Tapi, Na. Aku  kan belum kenal dia.”
            “Makanya  aku bilang sama kamu agar kamu manu kenalan sama dia.”
            “Sebelumnya aku harus tahu kepribadiannya dulu, agamanya kuat apa ga, trus juga…….” kata Risa tanpa berhenti memeberitahukan kriteria yang  dia inginkan.
            “Kamu ini, Ris. Banyak syarat. Manusia itu ga ada yang sempurna.”
            “Tapi itu kan wajib.”
            “Iya, iya terserah kamu.”
            Mereka pun berlalu dan masuk ke ruang kuliah.
****
            Hari telah  berganti. Seperti biasa Risa berangkat kuliah pagi-pagi naik bus umum yang  biasa mengantarkannya ke kampus. Pagi itu dia melihat kejadian yang membuatnya kagum.  Di dalam bus yang dia tumpangi pagi itu sangat sesak. Dia sendiri berada di samping pintu belakang dekat kondektur. Dalam keadaan yang sesak seperti itu kondektur tetap saja masih mau menarik penumpang. Risa melihat ada nenek-nenek yang masuk lewat pintu depan. Nenek itu mengalami  nasib seperti dia yang tidak mendapat tempat duduk. Risa amat kasihan dengan nenek itu. Tidak ada satu orang pun pemuda yang mau menawarkan tempat duduknya untuk nenek itu. Sampai ada seorang pemuda yang tiba-tiba berdiri kemudian mempersilakan duduk nenek itu dengan sopan. Pemuda itu berdiri di dekat pintu depan. Risa tidak menyangka di zaman sekarang masih ada pemuda yang mau berbaik hati dan berjiwa ikhlas seperti dia. Risa terus memperhatikan pemuda itu tanpa sepengetahuannya. Bus berhenti dan pemuda itu pun turun. Risa masih tetap saja memandanginya.
            “Astaghfirullah…kenapa aku melihatnya terus.  Itu tidak boleh,” gumamnya.
            Bus terus melaju melewati jalan yang biasa dilewatinya ketika ke kampus. Diam-diam Risa  terus  memikirkan pemuda tadi bertanya-tanya sendiri dalam hati siapakah pemuda itu.. bus berhenti di depan kampusnya dan Risa pun turun. Sampai di gerbang kampus  Erna langsung datang menyapa.
            “Risa, gimana?”
            “Gimana apanya?”
            “Itu lho tawaranku kemarin.”
            “Oh, tentang saudaramu yang pengen kenalan sama aku? Maaf, Na. Aku lagi malas mikirin gituan.”
            “Tapi kan kamu belum ketemu dia. Masa mau langsung kamu tolak? Nanti setelah ketemu pasti  kamu bakal suka.”
            “Malas ah, Na.”
            “Ya sudah kalau kamu ga mau. Aku ga akan maksa kok.”
            “Maaf, Na. Sampaikan maafku juga sama saudaramu.”
            “Na, aku mau cerita sesuatu sama kamu. Tadi di bus aku melihat seorang pemyda yang berhati mulia, dia mau menawarkan tempat duduknya kepada seorang nenek. Padahal pemuda-pemuda lain ga ada yang mau. Aku ga nyangka  masih ada pemuda yang baik seperti dia.
            “Cieh…Ternyata udah ketemu yang lebih cocok  ni ye… Pantesan aja nolak saudara sepupuku, hehehe…” ledek Erna pada Risa.
            “Ga kok, Na.  Akku Cuma kagum aja sama dia.”
            “kagum apa kagum?”
            “Udah donk, Na.  Jangan menggodaku terus!”
            “Terus kamu kenalan sama dia? Siapa namanya?”
            “Belum. Dia aja ga tahu tadi sedang aku perhatian.”
            “Aduh, Ris… lalu kelanjutannya gimana?”
            “Kelanjutan apa?”
            “Ya kisah cinta kamu.”
            “Ah , kamu ini ada-ada aja, Na. Kisah cinta apa? Aku kan udah bilang aku ini Cuma kagum sama dia.”
            “Dari kagum bisa menjadi cinta, kan? Hehehe…”
            Risa diam tersipu dengan candaan Erna. Ternyata diam-diam Risa memang terpesona dengan pemuda tadi. Dia telah  jatuh hati padanya. Inilah ketika cinta sudah saatnya bicara.
            “Apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama, ya?” gumamnya lirih.
            “apa, Ris? Kamu tadi bilang apa?”
            “Ha? Ee… anu..ee.. ga apa-apa kok,”  jawab Risa dengan gugup.
            “Ya udah kalau gitu, kita masuk kelas aja, yuk?”
            Risa dan Erni pun masuk kelas dan mengikuti perkuliahan seperta biasanya.
****
            Malam yang sepi, hanya terdengar desiran angin lembut yang menggoyangkan dedaunan di depan rumah. Risa  tampak asik dengan komputernya di kamar. Sedangkan orangtuanya sedang ngobrol di ruang tamu.
            “Ma, Papa punya teman. Dia mempunyai anak laki-laki yang tampan dan kelihatannya dia baik, punya sopan santun terhadap orangtua. Saya dengar dia suka seorang gadis tapi gadis itu menolak untuk berkenalan dengan dia. Padahal gadis itu  belum melihatnya, karena hal itu dia setuju saja jika ayahnya yang mencarikan jodoh untuknya.”
            “Lalu, maksud Papa menceritakan hal itu sama Mama apa?”
            “Papa ingin punya menantu seperti dia. Anaknya rajin dan  baik. Kira-kira Risa  mau tidak, ya?”
            “Maksudnya Papa mau menjodohkan anak kita dengan anak teman Papa itu?’
            “Kira-kira begitulah, Ma. Menurut Mama gimana?”
            “Mama sih setuju aja asalkan Risa bersedia.”
            Tanpa sepengetahuan mereka Risa ternyata mendengar  pembicaraan orangtuanya. Risa tadinya bermaksud mengambil air minum di dapur tapi secara tidak sengaja mendengar  pembicaraan orangtuanya. Risa berlari ke kamarnya sembari menangis.
            “Kenapa? Kenapa aku menangis? Bukankah seharusnya aku senang tidak harus susah payah mencari jodoh?” gumamnya.
            Risa terus menangis. Dia teringat sosok pemuda yang dia lihat di bus kemarin. Sosok pemuda yang sempat membuatnya terpesona. Bahkan mungkin bukan lagi sempat melainkan memang sudah membuatnya jatuh hati.
            “Ya, Allah… Apakah aku talah jatuh hati pada pemuda itu? Tapi siapa dia? Bagaimana  aku nanti menolak tawaran kedua orangtuaku? Ya, Allah… Jika memang pemuda itu jodohku,  izinkan aku bertemu dengannya sekali saja.”
****
            Hari ini risa libur tidak ada kuliah. Dia dan kedua orangtuanya siap-siap sarapan bersama. Di meja makan yang luas Risa hendak mengutarakan isi hatinya tentang penolakan perjodoahan itu tetapi ternyata papanya mendahului.
            “Risa, Papa mau bicara sesuatu. Papa sama Mama mau menjodohkan kamu dengan anak teman Papa. Dia tampan, rajin, dan baik. Papa rasa cock sama kamu. Apa kamu mau?”
            “Maaf, Pa. Risa sudah punya pilihan  sendiri.”
            “Oh, ya? Siapa? Kenapa tidak kamu kenalkan sama kami?’ teriak mamanya dengan kaget karena gembira.
            “Risa belum tahu namanya. Risa Cuma baru ketemu sekali di dalam bus. Karena kebaikan hatinya itu Risa sangat tertarik padanya. Tindak tuturnya sangat sopan.  Dan dia juga kelihatannya orang yang sangat berpendidikan. Risa merasa inilah jodoh risa.”
            “Apa katamu? Belum tahu namnya  kamu langsung suka? Tidak! Papa ttidaka akan  setuju. Papa tidak setuju kamu suka pada orang yang ga  jelas  asal-usulnya.”
            “Risa, Papamu benar.”
            “Ma, Pa… Izinkan Risa untuk mencarinya, jika memang dia adalah jodohku maka kami pasti bisa ketemu lagi kemudian akan Risa kenalkan pada Mama Papa.”
            “Baiklah, kamu punya waktu satu bulan untuk menemukannya dan mengenalkannya pada kami. Jika sampai satu bulan belum ketemu maka kamu harus setuju menikah dengan pilihan Papa”
            “Baik, Pa. Risa setuju,” jawab Risa dengan agak ragu.
****
            Hari-hari Risa lalui untuk mencari pemuda itu. Dia mencari di tempat turunnya pemuda itu dari bus. Tapi hasilnya nihil. sudah hampir satu minggu tapi belum juga ketemu. Tiba-tiba Erna melihat Risa sedang bingung di pinggir jalan.
            “Risa!”
            Risa menoleh ke arah  sumber suara.
            “Erna, sedang apa kamu di sini?”
            “Kamu sendiri sedang apa di sisni seperti orang bingung? Ada masalah?”
            Risa pun menceritakan masalah yang dialami bahwa dia sedang mencari seseorang yang telah membuatnya jatuh hati dan  tentang perjodohan itu.
            “Ria, orangtuamu benar, masa kamu jatuh cinta pada orang yang ga jelas gitu. Jelas saja papamu marah. Apalagi kamu adalah anak satu-satunya.”
            “Tapi aku harus bertemu dulu dengan pemuda  itu. Setiap aku ingin melupakannya semakin aku ingin memikirkannya.”
            “Sekarang kamu harus memohon pertolongan-Nya, Ris. Hanya Dialah yang mampu menolongmu dan memberimu petunjuk. Lakukan sholat istikharoh.”
            “Kamu benar, Na. Terima kasih, ya.”
****
            Waktu Risa tinggal satu minggu lagi tapi belum juga ketemu pemuda itu. Risa hanya bisa berdo’a pada-Nya agar  diberi petunjuk. Sholat istikharoh sudah dia lakukan tapi tetap saja bayangan pemuda itu yang muncul dalam mimpinya.
            “Bagaimana, Ris?”
            “Belum ketemu, Pa.”
            “Waktu kamu tinggal beberapa hari lagi. Kalau kam u belum juga ketemu maka lupakan  dia dan menikahlah dengan pemuda pilihan Papa.”
            “Baik, Pa. Risa ingat perjanjian itu,” jawab Risa sambil menangis.
            “Nak, sabar, ya. Mama  ikut berdo’a semoga kamu menemukan pemuda itu,” kata ibunya sambil memeluk putri kesayangannya itu.
****
            Hari ini adalah hari terakhir untuk Risa mencari pemuda itu. Risa sudah mencoba mencarinya lagi tapi belum juga ketemu. Akhirnya Risa menyerah.  Risa pulang dengan kesedihan yang tak terkira.
            “Pa, Risa setuju menikah dengan pilihan Papa.”
            “Bagus, jawaban itulah yang Papa tunggu. Besok keluarga mereka akan datang untuk melamarmu.”
            “Secepat itu, Pa?”
            “Kenapa? Kamu tidak setuju?”
            “Tidak. Risa setuju. Risa akan menurut sama Papa.”
            Malam telah tiba.  Risa terduduk lemah di depan meja belajarnya.
            “Ya, Allah.. Jika pemuda itu bukanlah jodohku mengapa Kau pertemukan aku dengannya? Mengapa Kau selipkan benih-benih cinta-Mu ke dalam hatiku?”
            Risa menangis di kamarnya tanpa ada yang tahu kepeediahan hatinya yang sangat dalam,  sampai alhirnya dia tertidur.
            Pagi telah membuka mata Risa.  Suasana  hatinya masih sedih. Dia masih belum bisa menerima hari ini dia akan  dilamar orang yang bukan pilihannya. Dia melihat mamanya sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk tamu istimewa yang akan datang nanti. Iya, tanmu istimewa bagi orangtuanya, tapi bukan baginya. Dia kembali ke kamar dan melihat gaun indah dengan jilbab yang sesuai dengan warna gaun yang disediakan mamanya.
            “Hari ini aku akan  dikhitbah. Ya, Allah… aku dikhitbah seseorang yang  bukan pilihanku. Semoga aku bisa mencintainya seiring berjalannya waktu. Kelak ketika kami sudah menikah aku adalah milik suamiku sepenuhnya. Jangan pernah datangkan bayangan pemuda itu di hadapan ku, ya, Allah.…”
            Risa memejamkan mata, dalam sekelebat dia melihat pemuda itu lagi. Dia menangis.
            “Ya, Allah.. Hanya Kau yang tahu maksud semua ini. Maka tunjukkanlah jalan yang terang bagiku.”
            Risa tidak akan pernah mengerti ada sesuatu yang memang sudah diatur oleh Allah. Mengapa dia dipertemukan dengan pemuda tak bernama itu.
            Keluarga yang akan melamar Risa telah datang. Risa  bersiap-siap turun untuk menemui pemuda yang akan melamarnya beserta keluarga. Risa turun dari tangga dan menuju ke ruang tamu, kemudian….
            “Subhanallah….Anda?” kata Risa terkejut melihat pemuda yang  ada di ruang tamu.
            “Dek Risa? Ya, Allah… Ternyata Dek Risa  yang akan menjadi calon istriku?”
            “Bagimana Anda mengenal  saya?” tanya Risa
            “Saya ini saudaranya Erna yang kemarin hendak mengutarakan keinginan saya untuk melamar Dek Risa. Lalu bagaimana Dek Risa tahu saya? Bukankah kita belum sempat bertemu?”
            “Subhanallah, Maha Suci Allah. Andalah  yang saya  cari-caru sebulan ini.”
            “Saya? Ada apa?”
            Tiba-Tiba pak Anton ayah Risa memotong pembicaraan mereka yang membuat para tamu bingung.
            “Risa, apakah Nak Arif ini yang kamu cari-cari?”
            “Benar, Pa.”
            “Ternyata kalau sudah jodoh memang takkan lari kemana-mana. Nak Arif, anakku Risa ini telah jatuh hati padamu sejak pertama kali melihatmu di dalam bus. Dia sangat kagum dengan sikapmu yang sopan terhadap orangtua. Katanya waktu itu dia melihatmu sedang menawarkan tempat duduk untuk seorang nenek yang berdiri di bus yang sesak,”  jelas ayah Risa kepada Arif dan keluarganya.
            “Oh, jadi begitu.”
            “Mungkin ini adalah karma karena telah menolak Anda ketika Erna memberitahu saya waktu itu. Saya telah menolak pemuda yang baik seperti Anda tanpa mau melihat dulu siapa Anda, sehingga Allah menguji saya seperti ini.”
            “Dek,  mungkin inilah jodoh. Kita mungkin telah ditakdirkan untuk bersama. Tetapi Allah menguji kita terlebih dahulu untuk mengetahui sejauh manakah kita mampu bertahan dengan cinta yang telah kita  rasakan karena-Nya.
            “Baiklah, bisa kita mulai proses khitbah ini? Sudah tidak ada masalah, bukan?” tanya Pak Budi ayah Arif.
            “Sebentar, Pa,” kata Arif.
            “Dek Risa, apakah  kamu bersedia menjadi pendampingku untuk selamanya?”.
            “Bismillah…Saya bersedia, Mas, InsyaAllah saya akan mendampingi Mas seumur hidupku kelak ketika Mas sudah menjadi  suamiku,” jawab Risa.
            “Baiklah ,  saya pikir  sekarang tidak ada masalah. Sekarang kalian resmi bertunangan. InsyaAllah secepatnya kalian akan menikah. Bagaimana, Pak Anton?” tanya Pak Budi.
            “Kami setuju,” jawab Pak Anton.
            “Alhamdulillah…” serentak semua orang yang ada di ruang tamu berucap hamdalah.
            Risa sangat bahagia dan bersyukur bahwa pemuda  yang selama ini dia cari-cari adalah pilihan ayahnya juga. Berkali-kali dia berucap  syukur pada Yang Maha Kuasa yang telah mengatur perjalanan hidupnya. Dan  semua berakhir dengan khidmat. Dua minggu lagi mereka akan menikah.
@@@@
Semarang, 17 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar