Di kegelapan
malam aku menikmati keindahan langit yang berhiaskan bintang-bintang. Sungguh
penciptaan yang sempurna. Allah Maha Besar dengan segala keindahan yang ada di
jagad raya ini. Angin berhembus semakin kencang hingga merasuk ke dalam
tulangku. Aku pun segera masuk kamar. Dari kamar aku masih bisa memandang
langit. Kosku bentuknya cukup unik. Di tengah-tengah ruangan tak beratap,
sehingga aku masih bisa memandang langit dengan jelas. Malam sudah semakin
larut, aku segera naik ke tempat tidurku. Malam ini aku harus tidur labih awal
karena besok aku harus menempuh perjalanan ke Kudus. Ya, aku akan pulang besok
pagi. Menghabiskan liburan semesterku di rumah.
“Kring….Kring…” aku terperanjat
kaget mendengar alarmku berbunyi. Aku segera bangun dan mengambil air wudlu
untuk sholat shubuh. Setelah itu aku harus mandi dan siap-siap untuk pulang.
Matahari telah muncul dari
peraduannya, sudah saatnya aku berangkat. Aku pun berpamitan dengan ibu kosku
dan teman-temanku yang belum pulang. Satu bulan rencanaku untuk liburan di
rumah. Sepanjang perjalanan aku tak banyak bicara dengan teman sebangkoku di
bus. Aku hanya diam sampai akhirnya aku turun di pintu gang kampungku.
“Assalaamu’alaikum…!”
“Wa’alaikumsalam…, kamu pulang,
Eva…? Memangnya kamu tidak ada kuliah?” tanya ibuku yang sedang duduk di depan
televisi.
“Eva libur satu bulan, Bu,” jawabku.
“Ayah mana, Bu?”
“Ayahmu pergi ke rumah Lek Rozi. Ada
apa cari-cari ayahmu?”
“Tidak ada apa-apa. Eva hanya kengen
saja sama ayah. Tumben ayah pergi siang-siang? Apalagi hari ini panas sekali.
Ada apa sih, Bu?”
“Ibu juga tidak tahu. Kamu masuk saja
ke kamarmu ganti baju terus makan kemudian istirahat. Kamu pasti lelah, kan?”
“Ya sudah Eva masuk kamar dulu.”
Aku kemudian masuk kamar, tapi
rasanya ada keganjalan di rumah ini. Ayahku tidak pernah pergi di siang hari
kecuali kalau tidak ada sesuatu yang penting. Beberapa minggu sebelum aku balik
ke Semarang, aku menangkap sesuatu yang mengganjal di rumah ini. Ada suatu
masalah dengan keluargaku. Apalagi jika melihat latar belakang keluargaku yang
rawan masalah, terutama dari pihak ayah. Sebenarnya Lek Rozi, Lek Inah, dan
ayahku bukan anak kandung kakekku yang sekarang masih ada. Nenek menikah lagi
sepennggal kekek kandungku. Nenek meninggalkan tiga anak yang masih kecil.
Setelah menikah lagi nenek mempunyai empat anak lagi, yaitu Lek Suti, Lek Ipah,
Lek Abdul, dan Lek Budi. Tak lama setelah Lek Suti menikah, nenek meninggal.
Saat itu aku masih berusia 4 tahun. Lek Inah adik ayahku, dia ikut suaminya ke
Yogyakarta. Dia punya anak dua, yang pertama lebih tua dari aku dan yang kedua
seumuranku. Lek Ipah baru bertunangan kemarin dan Lek Abdul kerja di
perantauan. Sedangkan Lek Budi masih kuliah di Semarang. Lek Rozi sekarang
menjadi guru bahasa arab setelah menetap di Kudus sejak setahun lalu. Istri Lek
Rozi orang Padang. Aku sayang sama mereka semua. Aku tidak pernah
membeda-bedakan mereka. Dan…
“Brakkk….Bu…, Ibu…!”
Suara tersebut mengagetkanku. Aku
segera bangun dari ranjang dan melihat ada apa di luar sana. Ayah datang dengan
marah-marah, lalu ibu menenangkannya. Ayah becerita pada ibu, sedangkan aku
mendengarkan mereka dari balik pintu di ruang tengah.
“Aku tidak rela jika Rozi
diperlakukan seperti ini, Bu!”
“Ayah…sabar, Yah…! Ada apa?
Tenangkan diri ayah kemudian cerita sama ibu.”
“Bu, bapak telah memperlakukan Rozi
dengan tidak adil. Aku tidak mau Rozi tidak mendapat keadilan di keluarga ini.
Bukankah mereka yang menyuruh Rozi dan istrinya datang ke Jawa dan diminta
menetap di sini? Bahkan mereka sudah berjanji akan membuatkan rumah? Tapi mana
buktiya? Sekarang kami tidak mempermasalahkan janji-janji mereka. Sekarang saya
hanya ingin mereka berlaku bijak pada Rozi. Dulu saat tinggal sementara di
rumah bapak, Rozi dan istrinya tidak dianggap. Mereka sering mengacuhkan Rozi
dan istrinya. Memangnya adikku itu orang asing, apa?!” jelas ayah pada ibu.
“Bu, aku benar-benar bingung dengan
maksud mereka. Sampai sekarang pun Rozi dan keluarganya di rumah kontrakan
mereka tetap saja acuh pada Rozi. Janji-janji mereka palsu. Adikku sekarang
sudah tidak peduli pada janji-janji mereka, toh adikku datang ke Jawa
semata-mata karena sayang pada bapak, bukan karena harta,” tambah ayah.
“Ayah, apakah keluarga kita harus
terpecah belah hanya karena ini?” Tanya ibu.
“Mereka yang mulai duluan, Bu…,”
jawab ayahku dengan nada meninggi. Tanpa pikir panjang aku pun keluar dari
balik pintu.
“Ayah, Ibu, ada apa? Kenapa dengan
Lek Rozi dan kakek?”
“Eva, kamu pulang, Nak?”
“Ya, Ayah. Tapi tolong jelaskan pada
Eva apa yang terjadi dengan keluarga kita?”
“Kamu tidak tahu apa-apa, Eva. Dan
lebih baik kamu memang tidak tahu.”
“Ayah, Eva sudah besar. Sudah paham
dengan apa yang terjadi asalkan ayah juga mau bercerita. Ayah percaya, kan?”
“Tentu, Nak. Ayah percaya. Baiklah.
Ayah akan jelaskan ada apa sebenarnya.” (ayahpun menjelaskan padaku. Mendengar
cerita ayah aku menangis dalam hati).
“Yaa Allah…apakah keluargaku akan tecerai berai hanya karena harta?”
batinku.
“Begitulah ceritanya, Nak.”
“Ayah, apakah ayah tidak
mau berbaikan dengan kakek?”
“Sulit, Nak…itu sulit bagi
kami.”
“Ayah…Ayah tidak mau
membiarkan keluara kita hancur, kan?”
“Tentu saja. Ayah
sebenarnya juga tidak ingin hal ini terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Pertengkaran sudah terlanjur terjadi.”
“Belum, kita masih bisa
berbaikan. Kasihan Lek Inah jika sampai keluarga Yogya tahu keadaan kita
seperti ini,” kataku menekankan.
****
Sudah satu minggu aku di
rumah dan melihat mereka masih saling diam. Keesokan harinya Lek Budi pulang.
Aku ceritakan keadaan yang sebenarnya. Namun sayangnya saat ini dia sedang
sibuk menyelesaikan skripsinya. Jadi dia tidak bisa membantu apa-apa. Dia di
rumah hanya satu hari, peginya kembali ke Semarang. Sebelum berangkat dia
berkata sesuatu padaku.
“Eva, Lek Budi sekarang
tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyatukan keluarga kita lagi. Sekarang kamu
sudah kuliah, yakinlah bahwa kamu mampu menyatukan keluarga kita. Anggaplah ini
tugasmu dan cobaan yang harus kamu hadapi. Jadilah oase di tengah padang pasir
yang memberi kesejukan bagi sekelilingnya.”
Pesan itu terus aku ingat
dalam hati. Keadaan sekarang semakin memburuk. Para tetangga sudah tahu,
omongan orang pun sampai ke mana-mana. Aku harus melakukan sesuatu. Sampai pada
akhirnya aku punya ide.
“Ayah, di ulang tahun adik
nanti bagaimana kalau kita mengumpulkan keluarga kita di rumah ini?”
“Boleh. Ide yang cukup bagus. Ayah
setuju.”
Saat ulang tahun Nina pun
tiba. Lek Rozi dan keluarganya sudah datang. Tinggal menunggu kekek dan yang
lainnya.”
“Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…kakek
sudah datang, ya? Silakan masuk, Kek…,” sapaku.
Acara pun dimulai. Tanpa
terasa dua jam sudah acaranya selesai. Tetangga yang kami undang sudah pulang.
Hanya tinggal keluarga saja yang tetap di rumahku. Kuberanikan maju ke depan
dan berbicara pada mereka.
“Maaf. Mohon perhatiannya
sebentar. Malam ini Eva mau mengatakan maksudku mengumpulkan semua keluarga di
sini. Eva hanya ingin keluarga kita bersatu lagi. Jangan ada saudara tua maupun
saudara muda. Lihatlah anak-anak kalian, bagaimana nantinya mereka kalau kita
saling bermusuhan? Apa yang akan dikatakan mereka kalau sudah besar nanti? Lalu
bagaimana dengan keluarga di Yogya? Apa kalian tidak kasihan pada Lek Inah?
Para tetangga sudah mulai mambicarakan keluarga kita.” Sambil menangis aku
terus bicara sampai akhirnya kakek angkat bicara juga.
“Nduk, kakekmu ini sudah
tua. Malam ini kamu telah membangunkan kekek dari keangkuhan, dari keegoisan
kekek. Maafkan kekekmu ini yang sudah benyak mengecewakanmu, Cah ayu,” kata
kakek dengan terisak.
“Suti dan Ipah juga minta
maaf pada kang Rozi dan kang soef. Kami khilaf, Kang.”
“Sudah, tidak apa-apa.
Sebaliknya kami juga minta maaf pada bapak karena lancang hampir membenci bapak
kami sendiri,” kata ayah.
“Akhirnya kita bersatu
lagi. Eva bangga dilahirkan di keluarga yang mau saling memaafkan,” kataku
dengan sangat haru dan bahagia.
*****
Masalah sudah berlalu. Dua
hari lagi liburanku selesai. Akhirnya aku bisa kembali ke Semarang dengan
tenang. Aku sangat bahagia, sampai Semarang nanti akan aku kabarkan berita
gembira ini pada Lek Budi.
“Jadilah oase di tengah
padang pasir yang selalu memberi kesejukan.”
Kata-kata itu akan selalu aku ingat sampai kapanpun.
Pagi yang cerah, langit
bersih tak berawan. Aku bersiap-siap kembali ke Semarang dengan rasa bahagia
yang tek terkira.
“Akhirnya… aku menyelesaikan
tugasku dengan baik,” kataku dalam hati.
@@@@@
Semarang, 27 Maret 2008
Faila Shofa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar