Jumat, 01 November 2013

Oase Di Tengah Padang Pasir



Di kegelapan malam aku menikmati keindahan langit yang berhiaskan bintang-bintang. Sungguh penciptaan yang sempurna. Allah Maha Besar dengan segala keindahan yang ada di jagad raya ini. Angin berhembus semakin kencang hingga merasuk ke dalam tulangku. Aku pun segera masuk kamar. Dari kamar aku masih bisa memandang langit. Kosku bentuknya cukup unik. Di tengah-tengah ruangan tak beratap, sehingga aku masih bisa memandang langit dengan jelas. Malam sudah semakin larut, aku segera naik ke tempat tidurku. Malam ini aku harus tidur labih awal karena besok aku harus menempuh perjalanan ke Kudus. Ya, aku akan pulang besok pagi. Menghabiskan liburan semesterku di rumah.
            “Kring….Kring…” aku terperanjat kaget mendengar alarmku berbunyi. Aku segera bangun dan mengambil air wudlu untuk sholat shubuh. Setelah itu aku harus mandi dan siap-siap untuk pulang.
            Matahari telah muncul dari peraduannya, sudah saatnya aku berangkat. Aku pun berpamitan dengan ibu kosku dan teman-temanku yang belum pulang. Satu bulan rencanaku untuk liburan di rumah. Sepanjang perjalanan aku tak banyak bicara dengan teman sebangkoku di bus. Aku hanya diam sampai akhirnya aku turun di pintu gang kampungku.

            “Assalaamu’alaikum…!”
            “Wa’alaikumsalam…, kamu pulang, Eva…? Memangnya kamu tidak ada kuliah?” tanya ibuku yang sedang duduk di depan televisi.
            “Eva libur satu bulan, Bu,” jawabku.
            “Ayah mana, Bu?”
            “Ayahmu pergi ke rumah Lek Rozi. Ada apa cari-cari ayahmu?”
            “Tidak ada apa-apa. Eva hanya kengen saja sama ayah. Tumben ayah pergi siang-siang? Apalagi hari ini panas sekali. Ada apa sih, Bu?”
            “Ibu juga tidak tahu. Kamu masuk saja ke kamarmu ganti baju terus makan kemudian istirahat. Kamu pasti lelah, kan?”
            “Ya sudah Eva masuk kamar dulu.”
            Aku kemudian masuk kamar, tapi rasanya ada keganjalan di rumah ini. Ayahku tidak pernah pergi di siang hari kecuali kalau tidak ada sesuatu yang penting. Beberapa minggu sebelum aku balik ke Semarang, aku menangkap sesuatu yang mengganjal di rumah ini. Ada suatu masalah dengan keluargaku. Apalagi jika melihat latar belakang keluargaku yang rawan masalah, terutama dari pihak ayah. Sebenarnya Lek Rozi, Lek Inah, dan ayahku bukan anak kandung kakekku yang sekarang masih ada. Nenek menikah lagi sepennggal kekek kandungku. Nenek meninggalkan tiga anak yang masih kecil. Setelah menikah lagi nenek mempunyai empat anak lagi, yaitu Lek Suti, Lek Ipah, Lek Abdul, dan Lek Budi. Tak lama setelah Lek Suti menikah, nenek meninggal. Saat itu aku masih berusia 4 tahun. Lek Inah adik ayahku, dia ikut suaminya ke Yogyakarta. Dia punya anak dua, yang pertama lebih tua dari aku dan yang kedua seumuranku. Lek Ipah baru bertunangan kemarin dan Lek Abdul kerja di perantauan. Sedangkan Lek Budi masih kuliah di Semarang. Lek Rozi sekarang menjadi guru bahasa arab setelah menetap di Kudus sejak setahun lalu. Istri Lek Rozi orang Padang. Aku sayang sama mereka semua. Aku tidak pernah membeda-bedakan mereka. Dan…
            “Brakkk….Bu…, Ibu…!”
            Suara tersebut mengagetkanku. Aku segera bangun dari ranjang dan melihat ada apa di luar sana. Ayah datang dengan marah-marah, lalu ibu menenangkannya. Ayah becerita pada ibu, sedangkan aku mendengarkan mereka dari balik pintu di ruang tengah.
            “Aku tidak rela jika Rozi diperlakukan seperti ini, Bu!”
            “Ayah…sabar, Yah…! Ada apa? Tenangkan diri ayah kemudian cerita sama ibu.”
            “Bu, bapak telah memperlakukan Rozi dengan tidak adil. Aku tidak mau Rozi tidak mendapat keadilan di keluarga ini. Bukankah mereka yang menyuruh Rozi dan istrinya datang ke Jawa dan diminta menetap di sini? Bahkan mereka sudah berjanji akan membuatkan rumah? Tapi mana buktiya? Sekarang kami tidak mempermasalahkan janji-janji mereka. Sekarang saya hanya ingin mereka berlaku bijak pada Rozi. Dulu saat tinggal sementara di rumah bapak, Rozi dan istrinya tidak dianggap. Mereka sering mengacuhkan Rozi dan istrinya. Memangnya adikku itu orang asing, apa?!” jelas ayah pada ibu.
            “Bu, aku benar-benar bingung dengan maksud mereka. Sampai sekarang pun Rozi dan keluarganya di rumah kontrakan mereka tetap saja acuh pada Rozi. Janji-janji mereka palsu. Adikku sekarang sudah tidak peduli pada janji-janji mereka, toh adikku datang ke Jawa semata-mata karena sayang pada bapak, bukan karena harta,” tambah ayah.
            “Ayah, apakah keluarga kita harus terpecah belah hanya karena ini?” Tanya ibu.
            “Mereka yang mulai duluan, Bu…,” jawab ayahku dengan nada meninggi. Tanpa pikir panjang aku pun keluar dari balik pintu.
            “Ayah, Ibu, ada apa? Kenapa dengan Lek Rozi dan kakek?”
            “Eva, kamu pulang, Nak?”
            “Ya, Ayah. Tapi tolong jelaskan pada Eva apa yang terjadi dengan keluarga kita?”
            “Kamu tidak tahu apa-apa, Eva. Dan lebih baik kamu memang tidak tahu.”
            “Ayah, Eva sudah besar. Sudah paham dengan apa yang terjadi asalkan ayah juga mau bercerita. Ayah percaya, kan?”
            “Tentu, Nak. Ayah percaya. Baiklah. Ayah akan jelaskan ada apa sebenarnya.” (ayahpun menjelaskan padaku. Mendengar cerita ayah aku menangis dalam hati).
“Yaa Allah…apakah keluargaku akan tecerai berai hanya karena harta?” batinku.
           “Begitulah ceritanya, Nak.”
           “Ayah, apakah ayah tidak mau berbaikan dengan kakek?”
           “Sulit, Nak…itu sulit bagi kami.”
           “Ayah…Ayah tidak mau membiarkan keluara kita hancur, kan?”
           “Tentu saja. Ayah sebenarnya juga tidak ingin hal ini terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Pertengkaran sudah terlanjur terjadi.”
           “Belum, kita masih bisa berbaikan. Kasihan Lek Inah jika sampai keluarga Yogya tahu keadaan kita seperti ini,” kataku menekankan.
****

           Sudah satu minggu aku di rumah dan melihat mereka masih saling diam. Keesokan harinya Lek Budi pulang. Aku ceritakan keadaan yang sebenarnya. Namun sayangnya saat ini dia sedang sibuk menyelesaikan skripsinya. Jadi dia tidak bisa membantu apa-apa. Dia di rumah hanya satu hari, peginya kembali ke Semarang. Sebelum berangkat dia berkata sesuatu padaku.
           “Eva, Lek Budi sekarang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyatukan keluarga kita lagi. Sekarang kamu sudah kuliah, yakinlah bahwa kamu mampu menyatukan keluarga kita. Anggaplah ini tugasmu dan cobaan yang harus kamu hadapi. Jadilah oase di tengah padang pasir yang memberi kesejukan bagi sekelilingnya.”
           Pesan itu terus aku ingat dalam hati. Keadaan sekarang semakin memburuk. Para tetangga sudah tahu, omongan orang pun sampai ke mana-mana. Aku harus melakukan sesuatu. Sampai pada akhirnya aku punya ide.
           “Ayah, di ulang tahun adik nanti bagaimana kalau kita mengumpulkan keluarga kita di rumah ini?”
           “Boleh. Ide yang cukup bagus. Ayah setuju.”
           Saat ulang tahun Nina pun tiba. Lek Rozi dan keluarganya sudah datang. Tinggal menunggu kekek dan yang lainnya.”
           “Assalaamu’alaikum…”
           “Wa’alaikumsalam…kakek sudah datang, ya? Silakan masuk, Kek…,” sapaku.
           Acara pun dimulai. Tanpa terasa dua jam sudah acaranya selesai. Tetangga yang kami undang sudah pulang. Hanya tinggal keluarga saja yang tetap di rumahku. Kuberanikan maju ke depan dan berbicara pada mereka.
           “Maaf. Mohon perhatiannya sebentar. Malam ini Eva mau mengatakan maksudku mengumpulkan semua keluarga di sini. Eva hanya ingin keluarga kita bersatu lagi. Jangan ada saudara tua maupun saudara muda. Lihatlah anak-anak kalian, bagaimana nantinya mereka kalau kita saling bermusuhan? Apa yang akan dikatakan mereka kalau sudah besar nanti? Lalu bagaimana dengan keluarga di Yogya? Apa kalian tidak kasihan pada Lek Inah? Para tetangga sudah mulai mambicarakan keluarga kita.” Sambil menangis aku terus bicara sampai akhirnya kakek angkat bicara juga.
           “Nduk, kakekmu ini sudah tua. Malam ini kamu telah membangunkan kekek dari keangkuhan, dari keegoisan kekek. Maafkan kekekmu ini yang sudah benyak mengecewakanmu, Cah ayu,” kata kakek dengan terisak.
           “Suti dan Ipah juga minta maaf pada kang Rozi dan kang soef. Kami khilaf, Kang.”
           “Sudah, tidak apa-apa. Sebaliknya kami juga minta maaf pada bapak karena lancang hampir membenci bapak kami sendiri,” kata ayah.
           “Akhirnya kita bersatu lagi. Eva bangga dilahirkan di keluarga yang mau saling memaafkan,” kataku dengan sangat haru dan bahagia.
*****

           Masalah sudah berlalu. Dua hari lagi liburanku selesai. Akhirnya aku bisa kembali ke Semarang dengan tenang. Aku sangat bahagia, sampai Semarang nanti akan aku kabarkan berita gembira ini pada Lek Budi.
           “Jadilah oase di tengah padang pasir yang selalu memberi kesejukan.”
Kata-kata itu akan selalu aku ingat sampai kapanpun.
           Pagi yang cerah, langit bersih tak berawan. Aku bersiap-siap kembali ke Semarang dengan rasa bahagia yang tek terkira.
           “Akhirnya… aku menyelesaikan tugasku dengan baik,” kataku dalam hati.

@@@@@

                                                                                 
Semarang, 27 Maret 2008
 Faila Shofa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar