Jumat, 01 November 2013

Senja Dalam Kemuraman Jiwa



Memecah rindu dalam gelimangan air suci yang menetes dari kelopak mata.
Kemuraman hati atas kedukaan yang terkabarkan olehmu,
Membawaku lari dari kerumunan sepi di hatiku.
Do’a serta harapan bersatu untuk cinta suci.

            Saat matahari tenggelam, aku masih terdiam dalam keresahan yang merajai hatiku.keresahan atas kejujuran dan kenyataan. Aku teringat kembali memori hari beberapa saat yang lalu ketika mas Anam mengatakan sesuatu yang mengagetkanku dalam telepon.
            “Sarah, maafkan mas. Maafkan karena aku harus mengatakan rahasia yang selama ini aku simpan darimu. Sebuah kenyataan yang mungkin akan membuatmu sedih,” suaranya yang serak mengejutkanku karena tidak biasanya dia berkata serius seperti itu.
            “Kenapa, Mas? Rahasia apa?”
            “Sarah, jika mas divonis dokter umurku tidak panjang lagi hanya sampai 30an, apakah kamu mau tetap setia menemaniku sampai akhir hayatku? Apa kamu mau menemaniku dan menjagaku di saat terapuh dalam hidupku?”
            “Maksud Mas? Kenapa Mas menanyakan hal itu?” tanyaku dengan terkejut mendengar apa yang dikatakannya.
            Sejenak dia terdiam. Kudengar suaranya yang serak karena sakit menjadi lirih. Yang terdengar hanya isak tangis yang berusaha disembunyikan. Kucoba untuk menanyakan kembali tentang kejelasan dari perkataannya.
            “Sayang, kenapa? Cerita sama Sarah, donk…! Ada apa dengan Mas?”
            “Sarah, sebenarnya Mas punya masalah dengan organ dalam Mas. Sarah tahu, kan tentang penyakit flu Mas yang belum sembuh sampai saat ini? Sebenarnya ini sudah Mas alami sejak masih di bangku SMA. Waktu itu Mas periksakan ke dokter di Ambarawa. Dokter bilang ada sesuatu di paru-paruku sehingga Mas sering mengalami kesulitan pernapasan dan penyakit flu yang menahun. Saat itu dokter bilang Mas harus segera dioperasi. Kata dokter umur Mas tidak akan bisa lama, hanya sampai umur 30an. Saat itu Mas bingung dan kacau. Mas memutuskan tidak akan mangatakan hal ini pada siapapun. Mas ga mau merepotkan orang lain meskipun dengan keluarga sendiri.”

            Mendengar hal itu aku tak kuasa lagi menahan kepedihan hatiku. Tangisku pecah mengembara dalam keramaian. Ingin aku berlari ke pelukannya dan membelainya. Namun aku tak kuasa. Tanganku gemetar. Saat itu aku dalam perjalanan ke rumah temanku. Sampai di rumah temanku aku berusaha menyembunyikan tangisku. Sampai aku kembali ke kos aku masih gelisah memikirkannya.
            Adzan maghrib membangunkanku dari lamunan yang meresahkan hatiku sejak siang tadi. Segera aku beranjak dari kamar dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Setelah itu aku kembali ke kamar dan bersujud kepada-Nya. Dalam kekhusyuanku aku berdo’a untuk kesembuhan orang yang aku kasihi dan aku cintai  karena-Nya.
            Tak lama setelah aku berdzikir kepada Sang Kholiq. Ponselku bordering. Ada telepon dari Mas Anam.
            “Assalamu’alaikum…” kudengar suara yang selalu aku nanti-nanti.
            “Wa’alaikumsalam…” jawabku lirih.
            “Sayang, aku sangat merindukanmu. Kapan kita bertemu lagi? Aku sangat menginginkan kau ada di sisiku saat ini. Namun, Mas sadar hal itu tak bisa aku dapatkan.”
            “Mas, maafkan Sarah. Di saat seperti ini Sarah tidak bisa menemani Mas Anam.”
            “Tidak apa-apa, Sayang. Mas ngerti. Ini adalah ujian yang harus kita lewati demi kebersamaan kita suatu hari nanti. Tanpa ada beban dosa di antara kita kerena Allah telah merestui kita. Mas akan tetap menunggu saat-saat itu.”
            “Mas, bagaimana dengan kesehatan Mas? Apakah tidak ada keinginan untuk memeriksakan kembali paru-paru Mas? Sarah mohon periksakanlah kembali. Demi cita-cita untuk kebahagiaan kita. Sarah ingin hidup bersama Aa lebih lama lagi. Mengabdi kepada Mas Anam dan bersama-sama kita membimbing anak-anak kita. Mas masih ingat dengan impian-impian kita, bukan?”
            “Tentu saja Mas ingat, sayang. Mas juga ingin mewujudkan impian-impian kita.”
            “Kalau begitu lakukanlah saranku untuk periksa lagi. Sarah mohon dengan amat sangat…”
            “Sayang, sebenarnya Mas bisa melakukan pengobatan alternative secara rutin, tetapi Mas takut jika sampai keluarga tahu. Mas tidak mau mereka khawatir sehingga merepotkan mereka. Sebenarnya Mas juga tidak ingin merepotkan Sarah.”
            “Sarah benar-benar kecewa sama Mas Anam. Ternyata selama ini Mas masih menganggap Sarah orang lain!” kataku dengan agak kesal padanya.
            “Sarah, bukan begitu maksudku. Mas hanya tidak mau konsentrasi Sarah terganggu karena ini. Mas ga mau kuliah Sarah terganggu.”
            “Sarah ngerti, tetapi dengan Mas tidak mau berobat berarti sudah membuat Sarah bingung. Sarah ga mau terjadi apa-apa dengan Mas.”
            “Baiklah, sayang. Kapan-kapan Mas akan berobat lagi. Sarah ada tugas ga? Lebih baik Sarah mengerjakan tugas dulu besok Mas telepon lagi. Sarah tenang saja, ya. Mas ga apa-apa kok.”
            “Baiklah. Sekarang Mas Anam juga mending istirahat saja.”
            “Love you,Sayang. Mas sayang banget sama Sarah. Assalamu’alaikum.”
            “Wa’alaikumsalam.”
            Tak terasa malam mulai larut, aku menuju ke kamar mandi kemudian sholat Isya’. Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Kukerjakan tugas-tugas kuliah yang menumpuk di meja belajarku. Dua jam aku mengerjakan tugas-tugasku namun belum juga selesai. Akhirnya aku putuskan untuk mengakhirinya saja karena aku sudah mengantuk. Sebelum aku memejamkan mata ada sms masuk dari Mas Anam.

Sayang, kalo udh ngntuk tdur aja. Besok diterusin lagi.

           
Sarah jg udh ngntuk kok. Ini mau siap-siap tdur. Aa knp blm tdr?
Aa jg hrs tdr, ya?
Baiklah Mas  tdur. Met tdur ya, Sayang. Love U.
            Love U too.
           
           
Aku tutup percakapan dengannya lewat sms. Sesaat kemudian aku sudah memejamkan mata dan terbang kea lam mimpi.
            “Kring…kring…” jam bekerku berbunyi menunjukkan pukul tiga pagi. Aku terbangun kemudian mengambil air wudlu untuk shoalt lail. Mataku madih terasa berat ketika sholat, sampai akhirnya aku tertidur lagi di atas sajadahku. Adzan shubuh berkumandang. Aku terbangun kemudian segera aku sholat shubuh.
            Esok telah tiba. Pagi ini begitu cerah dengan kicauan burung-burung yang merdu. Seperti biasa aku lalui hari-hariku dengan kelelahan. Tugas-tugas kuliah selalu menanti di meja belajarku. Namun di sela-sela keletihanku karena tugas-tugas kuliah, dia selalu ada menemaniku. Meskipun hanya dari sms ataupun telepon.
Hari-hariku selama seminggu setelah aku tahu keadaan yang menimpa orang yang aku kasihi aku semakin ingin secepatnya menemaninya di saat-saat kerapuhannya. Setiap hari tak pernah aku lupa ingatkan dia untuk tetap kontrol ke dokter dan juga mengenai pola makannya. Apalagi masalah merokok dan minum kopi, akau benar-benar selalu mengingatkan agar dia berhenti merokok dan minum kopi. Aku begitu sayang padanya. Akau tak ingin terjadi apa-apa dengannya. Aku selalu berdo’a agar dia sembuh. Aku yakin dia akan sembuh.
Malam ini sangat dingin. Hembusan angin serasa menusuk kalbu. Aku terdiam duduk di tepi tempat tidur. Jam sudah menunjukkan 01.30 didni hari. Akan tetapi mataku belum juga bisa terpejam. Malam ini hatiku tak tenang memikirkannya. Entah mengapa aku merasa terjadi sesuatu padanya. Aku teringat terakhir dia telepon aku, dia sedang dalam keadaan tidak sehat. Batuknya semakin keras, hidungnya juga masih buntu dan dia sulit bernapas. Dia juga mengatakan badannya demam. Setelah itu dia langsung aku suruh tidur. Aku masih terus memikirkannya. Aku akan pulang ke rumah pagi-pagi setelah shubuh. Aku berencana mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Sebelum aku menengoknya aku tidak akan  bisa tenang.
Ayam berkokok membangunkan aku. Aku tidak sadar ternyata aku tadi malam tertidur di dekat meja. Aku segera sholat shubuh karena jam sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Setelah itu aku mandi dan siap-siap untuk pulang. Semua barangku sudah aku siapkan. Aku segera pamit kepada teman-temanku di kos.
”Mbak, aku pulang dulu,” kataku pada mbak Risa.
”iya, Dek. Hati-hati di jalan, ya!” jawab mbak Risa.
”Semuanya aku pulang dulu,” kataku.
Aku segera berangkat naik bus dan tak lupa aku mengabari Mas anam bahwa aku berencana akan mampir ke rumahnya. Aku pun menulis pesan padanya lewat sms. Sudah tiga kali aku sms dia tapi tak ada balasan. Aku semakin khawatir dengannya. Tak biasanya dia tak membalas smsku. Apalagi ini adalah kabar gembira untuknya karena aku akan menemuinya. Aku pun menelponnya atpi tak diangkat. Aku semakin resah.
”Jangan-jangan terjadi apa-apa dengan Mas anam,” pikirku tak karuan.    
Aku semakin bingung. Apa yang harus aku lakukan. Siapa yang harus aku hubungi. Di perjalanan aku benar-benar tidak bisa tenang. Firasatku mengatakan terjadi apa-apa dengan dia.
”Ya, Allah... Jangan biarkan terjadi apa-apa dengannya. Lindungi dia Ya, Allah...” do’aku dalam hati.
Terbersit dalam pikiranku untuk menghubungi nomor rumahnya. Secepat kilat aku mengambil Hpku dalam tas dan menekan nomor rumahnya.
”Assalaamu’alaikum...”
”Waalaikumsalam... ini siapa?” tedengar suara gadis yang mengangkat telepon. Aku pikir dia pasti Ani adiknya Mas anam.
”Ani, ini sarah. Mas anam ada?”
”Eh, Sarah. Iya, kakak ada, kok. Dia kayaknya ada di kamarnya. Sejak tadi pagi aku belum melihatnya keluar dari kamar.”
”Ani, bisa minta tolong periksa dia? Aku takut terjadi apa-apa padanya. Aku sms beberapa kali tidak dibalas. Aku telepon juga tidak diangkat. Aku khawatir dia sakit.”
”Iya, sebentar aku periksa dulu ke kamarnya.”
Cukup lama aku menunggu Ani, sesaat kemudian Ani kembali.
”Sarah, kakak ada di kamarnya. Dia kayaknya memang sedang sakit. Badannya panas banget.”
”Ani, cepat hubungi dokter!”
”Kakak ga mau aku panggilkan dokter,katanya ga apa-apa.”
”Ga apa-apa gimana? Dia itu sedang sakit. Sejak tadi malam dia bilang susah napas. Batuknya juga keras banget.”
”Ya, udah aku langsung hubungi dokter saja.”
”Makasih, ya. Sekarang aku sedang dalam perjalanan. Aku akan menuju rumahmu untuk mengetahui keadaannya.”
”Kamu hati-hati, ya!”
”Iya. Jaga Mas Anam.”
”Klik,” telepon kami tutup.
Setengah jam lagi aku akan segera sampai di rumahnya. Aku semakin gelisah memikirkan Mas anam. Aku tidak sabar untuk menemuinya.
”Ya, Allah selamatkan dia. Hamba sangat menyayanginya. Hamba tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Sembuhkan dia, Ya Allah.”
Aku telah sampai di terminal kotanya. Aku segera turun dan mancari angkot ke rumahnya.
”Lama sekali angkotnya datang,” umpatku dalam hati. Aku tak sabar menunggu angkot.
Tak lama kemudian angkot yang aku tunggu datang. Segera aku naik ke dalam. Hanya beberapa menit setelah itu aku sudah sampai di depan rumah Mas Anam. Aku turun dan berlari ke rumahnya.
”Assalaamu’alaikum..”
”Waalaikumsalam... Sarah, masuklah. Kakak sedang diperiksa dokter di kamarnya,” kata Ani padaku.
”Aku boleh masuk?”
”Masuk saja.”
”Mas, bagaimana keadaanmu?”
”Mas ga apa-apa. Maafin Mas tadi tidak bisa membalas sms dan menjawab telepon kamu.”
”Ga apa-apa, kok. Sarah ngerti keadaan Mas. Sarah tadi Cuma panik. Sarah takut terjadi apa-apa, makanya Sarah langsung telepon rumah. Ani bilang Mas lagi sakit.”
”Maafin Mas kamu harus repot-repot ke sini negok Mas.”
”Sarah memang sudah berencana mau ke rumah Mas sejak kemarin. Jadi Mas Anam tidak perlu minta maaf.”
Aku melihat dokter yang sedang memeriksanya. Melihatnya lemah seperti itu aku sangat sedih. aku sempat meneteskan airmata tapi karena takut Mas Anam melihat cepat-cepat aku menyeka airmataku. Aku tidak mau Mas Anam tambah sedih malihat aku menangisinya.
”Dokter, bagaimana keadaannya?”
”Dia harus segera diperiksa lebih lanjut di rumah sakit. Lebih baik dia melakukan ronxten.”
”Apa penyakitnya parah, Dok?”
”Saya belum bisa memastikannya,” kata dokter kemudian keluar kamar menemui Ani.
”Sarah, Mas takut. Mas tidak mau ronxten. Mas takut menerima kenyataan bahwa penyakit Mas parah. Mas takut menerima kenyataan umur Mas tidak akan lama lagi.”
”Mas, jangan takut. Sarah akan menemani Mas selalu. Nanti kita ke rumah sakit sama-sama. Sarah akan menyuruh Ani mencarikan taksi saja biar Mas bisa lebih nyaman.”
”Sarah janji jangan tinggalkan Mas,ya?”
”Iya, Sayang... sekarang Mas siap-siap saja, ya? Sarah keluar dulu meminta Ani mencarikan taksi.”
”Baiklah. Sarah, Mas sayang sama Sarah.”
”Sarah juga sayang sama Mas.”
Sambil tersenyum aku meninggalkannya keluar kamar. Kemudian aku menyuruh Ani mencarikan taksi untuk kami nanti ke rumah sakit.
”Ani, kamu bisa bantu aku?”
”Apa, Sarah?”
”Tolong carikan taksi. Aku akan mengantar Mas Anam ke rumah sakit untuk periksa.”
”Oke. Akan aku carikan sekarang juga.”
Tak lama kemudian Mas Anam keluar dari kamar. Aku segera membantunya berjalan. Dia terlihat lemah dan tidak kuat berjalan sendiri tanpa dibantu.
”Sarah, taksinya sudah datang. Aduh... romantis benar kalian. Kalian memang pasangan yang cocok. Hehehe...” kata ani.
”Kamu ini ada-ada aja, Dik. Berarti Mas tidak salah pilih, kan?” sahut Mas Anam sambil melirikku yang sedang tersipu malu.
”Ya udah sekarang kita berangkat aja, yuk,” kataku padanya sambil menyembunyikan wajahku yang memerah karena perkataan Ani tadi.
”Ani, kami berangkat dulu, ya? Jaga rumah! Nanti kalau ib pulang katakan saja kakak berobat!” kata Mas Anam pada Ani.
Kami segera naik taksi yang sudah menunggu kami di luar. Kami pun berangkat menuju rumah sakit. Seperempat jam kami sudah sampaii di rumah sakit yang kami tuju. Aku membantu Mas Anam berjalan menuju ruang pemeriksaan. Untunglah kami tidak perlu mengantri lama-lama. Mas Anam langsung  masuk ruangan setelah dipanggil perawat untuk diperiksa. Aku menunggu di luar ruangan dengan penuh kekhawatiran.
”Semoga tak terjadi apa-apa padanya. Ya Allah, lindungilah orang yang aku cintai. Jauhkanlah dia dari segala penyakit yang mematikan, Ya Allah...” gumamku.
Setengah jam kemudian Mas Anam  keluar dengan membawa amplop besar yang berisi berkas hasil pemeriksaan.
”Bagaimana hasil pemeriksaannya, Mas?”
”Aku belum tahu, Sayang. Kita masih harus menemui Dokter Anton sekarang juga. Beliau nanti yang akan memeriksa hasil ronxtennya.”
”Ya udah sekarang saja kita menemuinya.”
”Baiklah.”
Kami mencari Dokter Anton di ruangannya tapi belum juga ketemu. Aku bertanya pada salah seorang perawat.
”Maaf, Suster. Dokter Anton di mana, ya?”
”Oh, Dokter Anton sedang memeriksa pasiennya, Mbak. Silakan Mbak tunggu saja di ruangannya. Sebentar lagi juga selesai.”
”Terima kasih, Suster.”
”Sama-sama,” jawab Suster dengan ramah.
”Mas, kita tunggu saja di dalam, yuk?”
”Baiklah.”
”Mas ga apa-apa, kan? Masih sakit?”
”Ga apa-apa, kok. Hanya masih agak pusing dan sesak napas gara-gara hidung buntu ini.”
”Sabar saja, ya?”
”Sayang, makasih udah nemenin Mas, ya. Maaf sudah merepotkan kamu.”
”Jangan bilang begitu donk, Mas. Sarah ini memang sudah seharusnya nemenin Mas di saat-saat seperti ini. Mas adalah seseorang yang sangat berarti untukku. Seseorang yang telah aku pilih untuk menjadi imamku suatu hari nanti. Semoga Allah merestui kita dengan hubungan yang kita jalani ini.”
”Amiin...”
”Oh, Saudara Anam. Ada masalah apa sehingga Anda sampai datang ke sini? Saya harap Anda dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak ada masalah dengan kesehatan Anda, kan?”
”Saya punya masalah dengan paru-paru saya, Dok.”
”Saya ikut sedih mendengarnya. Sungguh  saya  sangat mengharapkan  Anda ke sini dengan membawa kabar gembira, tapi ternyata...”
”Ternyata apa, Dok? tanya Mas Anam.
”Ternyata harapan saya gugur. Karena saya berharap Anda ke sini membawa undangan pernikahan.”
”Ah, Dokter bisa saja. Do’akan saja ya, Dok. Saat ini masih menunggu calon saya lulus kuliah dulu,” kata Mas Anam sambil meliikku yang tersipu malu.
”O, iya tadi Anda bilang ada masalah dengan paru-paru Anda. Ada yang bisa saya bantu?”
”Ini hasil ronxten saya tadi, Dok. mohon diperiksa.”
”Baiklah, kalian  tunggu sebentar. Akan saya periksa dulu.”
            Cukup lama kami menunggu Dokter Anton memeriksa hasil ronxten. Kulihat Mas Anam tangannya gemetar. Kugenggam tangannya yang dingin. Wajahnya masih terlihat pucat.
            ”Mas, jangan takut. Ada Sarah di sini. InsyaAllah tidak akan terjadi apa-apa dengan Mas,” kataku untuk menenangkannya.
            ”Aku cuma takut apa kata dokter di Ambarawa dulu benar, bahwa umurku tidak akan lama lagi. Aku takut tidak bisa mewujudkan impian kita untuk bisa hidup bersama.”
            ”Mas, hidup atau mati itu di tangan Allah. Mas harus  ingat itu.”
            ”Iya, Sayang. Mas akan selalu ingat hal itu.”
            Beberapa saat kemudian Dokter Anton keluar dari biliknya dengan membawa hasil ronxten yang tadi di periksanya.
            ”Bagaimana, Dok?”
            ”Anda memang mempunyai masalah dengan paru-paru Anda. Akan tetapi Anda tidak perlu khawatir. Ini penyakit yang biasa diderita aktivis seperti Anda. Ada sesuatu di dalam paru-paru Anda sebelah kiri.”
            ”Lalu apakh masih bisa  diobati?”
            ”Tentu saja. Nanti akan saya berikan obatnya.”
            ”Tapi dulu saya pernah periksa di Ambarawa dan dokternya bilang bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Dan jika ingin cepat sembuh harus segera dioperasi. Apakah itu benar, Dok?”
            ”Ehm... Anda ini jangan terlalu berpikiran sempit. Umur itu ada di tangan Allah. Dokter saja belum tentu benar dalam memeriksa. Mungkin Dokter itu salah. Lagipula Anda tidak perlu dioperasi. Kalau Anda masih sayang dengan nyawa Anda, maka hindarilah rokok dan kopi. Itu sangat berbahaya untuk penderita paru-paru  seperti Anda.”
            ”Alhamdulillah.. Terima kasih, Dok.”
            ”Sama-sama. Baiklah ini resep yang haru Anda tukarkan dengan obat di apotik.”
            ”Sekali lagi terima kasih.”
            ”Ingat pesan-pesan saya  tadi ya, Mas!”
            ”Baik, Dok.”
            ”Tenang saja, Dok. akan saya ingatkan selalu pesan Dokter kepadanya,” kataku pada Dokter Anton yang tersenyum melihat kami.
            ”Dok, kami permisi dulu, kami harus segera pulang.”
            ”Baiklah, kalian hati-hati di jalan. Oh, ya salam buat keluarga Mas Anam di rumah.”
            ”InsyaAllah nanti akan saya sampaikan,” jawab Mas Anam.
            Kami pun beranjak dari  ruangan dan pergi ke apotik untuk menukar resep-resep dari Dokter Anton.
            ”Mas, Allah mengabulkan do’a-do’a kita.”
            ”Iya, Sayang. Kita harus bersyukur kepada-Nya.”
            ”Oh, ya. Sarah nanti sore harus pulang. Maafkan Sarah karena ga bisa nemenin Mas terus.”
            ”Kenapa harus minta maaf? Sudah ditemani seharian saja Mas sangat senang. Nanti mau pulang jam berapa,  Sayang?”
            ”Mungkin jam 16.00 WIB. Biar ga terlalu kesorean sampai rumah.”
            ”Ya udah. Sekarang kita pulang  saja  dulu. Ini masih jam 14.30 WIB. Masih lama, kan? Nanti biar pulangnya diantar Ani sampai terminal.”
            ”Oke, sekarang kita nunggu taksinya datang saja.”
            Tak lama kami menunggu, taksinya telah datang. Kami naik dan taksi pun meluncur menuju rumahnya. Kulihat wajah Mas Anam tak sepucat tadi. Sepanjang perjalanan dia sesekali memandangku dengan wajah tersenyum. Tangannya menggenggam erat tanganku seolah tak mau melepaskanku. Akhirnya kami sampai di rumahnya. Ani dan Ibunya menyambut kami dengan wajah yang penuh  kekhawatiran. Aku pun menjelaskan pada mereka dan Mas Anam  masuk ke kamar untuk istirahat.
            Langit berubah menjadi cerah. Awan hitam yang  menyelimuti hati pun kian memudar. Harapan baru telah menunggu kami menuju kebahagiaan. Senja yang memuramkan hatiku kini telah berganti senja yang indah dan memberiku harapan-harapan sejuk. Akhirnya aku meninggalkannya sendiri lagi. Namun bukan untuk sekamanya, karena aku pulang dengan membawa impian untuk bersama dalam naungan cinta dan ridho-Nya.
@@@

Semarang, 20 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar